Relaksasi Izin Ekspor Mineral Disebut Tak Hanya Untungkan Freeport
Pemerintah mengeluarkan relaksasi aturan ekspor mineral logam. Kebijakan ini bahkan berlaku untuk perusahaan tambang yang belum menyelesaikan komitmen pembangunan fasilitas pemurnian dan pengolahan alias smelter.
Bersamaan dengan relaksasi itu, pemerintah tetap memberikan denda administratif atas keterlambatan melakukan progres smelter. Dendanya mencapai 20% dari pendapatan tahun berjalan.
PT Freeport Indonesia disebut-sebut yang paling mendapat keuntungan dari kebijakan ini. Penyebabnya, perusahaan baru menyelesaikan sekitar 5% pembangunan smelter-nya dari target 10% pada tahun lalu.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa berpendapat pemberian relaksasi itu tidak lepas dari upaya menambal penerimaan negara. Selama pandemi Covid-19, penerimaan dari pajak mengalami tekanan karena aktivitas ekonomi yang turun.
Pemerintah juga berusaha mengoptimalkan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yang selama ini didominasi dari batu bara. Untuk mineral, produksi yang paling besar adalah nikel dan bauksit. Sedangkan Freeport menambang tembaga dan emas. “Jadi, tidak hanya Freeport yang diuntungkan,” kata Fabby kepada Katadata.co.id, Selasa (23/3).
Juru bicara Freeport Indonesia Riza Pratama mengatakan realisasi kemajuan fisik smelter tidak mencapai target karena dampak pandemi Covid-19. Pemerintah dan Freeport sedang mendiskusikan aktivitas pembangunan mana saja yang tertunda.
Perusahaan tetap berkomitmen memberi nilai tambah produksi tambangnya. “Kami juga terus berdiskusi dengan pemerintah untuk merealisasikan rencana produksi dan kontribusi Freeport, termasuk bea keluar ekspor,” ujar Riza.
Smelter Freeport Tak Kunjung Rampung
Proses kegiatan tambang, menurut Direktur Centre for Indonesian Resources Strategic Studies (Cirrus) Budi Santoso, jangan hanya dilihat dari PNBP saja. Adil atau tidaknya masalah penerapan denda 20% juga perlu dilihat kembali lagi prioritas utamanya, antara penerimaan negara atau membangun smelter.
“Ini komentar saya sejak awal. Kepada pemerintah, kalau Freeport tidak mau membangun smelter, kenapa tidak ditawarkan ke pihak ketiga," kata dia.
Sudah 12 tahun Freeport tidak menepati janjinya untuk membangun fasilitas pengolahan. Pemerintah seharusnya menangkap sinyal ini dan memberikannya kepada pihak ketiga. Salah satu pabrik kabel Tanah Air pernah menyatakan minatnya mengambil alih proyek tersebut.
Soal denda, Budi berpendapat seharusnya pemerintah membuat konsep pemberian sanksi yang akan merugikan keuangan Freeport. Namun, kalau itu terjadi sebenarnya Indonesia ikut tak mendapat untung. Mayoritas saham perusahaan saat ini dikuasai pemerintah, melalui PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) alias MIND ID.
Untuk diketahui, pemerintah menerbitkan aturan baru soal ekspor mineral logam pada Jumat pekan lalu. Perusahaan tambang boleh melakukan itu meskipun kemajuan fisik pembangunan fasilitas pemurnian atau smelter-nya belum mencapai target.
Aturannya tertuang dalam Keputusan Menteri ESDM Nomor 46.K/MB.04/MEM.B/2021. Perusahaan yang boleh melakukan ekspor tersebut adalah pemegang izin usaha pertambangan (IUP) operasi khusus dan izin usaha pertambangan khusus (IUPK).