RI Butuh Perpres Cadangan Penyangga Energi untuk Antisipasi Krisis
Peraturan Presiden atau Perpres terkait cadangan penyangga energi (CPE) perlu segera diterbitkan untuk penanggulangan krisis energi jangka panjang. Saat ini, Indonesia dinilai rentan terhadap risiko krisis energi di jangka panjang karena belum hadirnya cadangan penyangga energi atau CPE.
Ketua Umum IKA FH Universitas Diponegoro (Undip), Ahmad Redi mengatakan CPE Indonesia masih bermasalah. Di mana, urgensi UU No.30/2007 tentang energi memiliki mandat tentang CPE, namun sampai hari ini regulasinya masih belum jelas.
Saat ini, pemerintah baru memiliki peraturan tentang kebijakan energi nasional terkait CPE. Namun, untuk peraturan Presiden (Perpres) mengenai penetapan CPE belum ada. “Sedangkan yang hari ini kita miliki adalah cadangan operasional, itupun milik Pertamina,” kata Redi dalam webinar bertajuk Krisis Energi Mulai Melanda Dunia, Bagaimana Strategi RI?, Minggu (10/10).
Dia menambahkan, saat ini belum ada kejelasan pasti mengenai lokasi, tempat dan waktu CPE. Sehingga, Redi menilai sudah menjadi tugas pemerintah untuk segera menerbitkan Perpres CPE. Dengan begitu, Dewan energi Nasional (DEN) dapat menentukan waktu dan lokasi cadangan penyangga energi.
Redi menekankan bahwa CPE merupakan pilar ketahanan energi. Indonesia berpotensi berada dalam bahaya jika sewaktu-waktu terjadi krisis dan darurat energi, sedangkan CPE masih belum jelas. Apalagi, salah satu tindakan penanggulangan krisis dan darurat energi adalah pelepasan CPE.
“Bagaimana mau melakukan pelepasan, jika CPE tempat, lokasi dan waktunya tidak ada,” katanya.
Selain pelepasan CPE, tindakan lain untuk penanggulangan krisis energi dan darurat energi adalah melakukan pembatasan ekspor energi, penghematan energi dan pembatasan konsumsi. Selain itu, diperlukan juga percepatan proyek infrastruktur energi, substitusi, diversifikasi dan switching energi.
“Saat ini kita belum mengalami krisis energi dan darurat energi, tapi kita harus menyiapkan tindakan penanggulangan tersebut,” ujarnya.
Selain itu, PP No.79 Tahun 2014 tentang Ketahanan Energi Nasional (KEN) dinilai Redi layaknya macan ompong. Itu karena, aturan sudah disusun secara bagus, namun dari sisi realisasi justru masih dianggap ilusi. Hal itu tercermin dari bauran energi yang masih didominasi sumber energi fosil seperti minyak dan batu bara, sedangkan EBT masih rendah.
Dalam PP tersebut juga dicanangkan pada 2025 peran EBT setidaknya bisa mencapai 23% dan berkembang menjadi 31% pada 2050, sepanjang keekonomiannya terpenuhi. Di sisi lain, peran minyak bumi pada 2025 ditargetkan kurang dari 25%, sedangkan batu bara minimal 30% dan gas bumi minimal 22%.
Sekretaris Jenderal DEN, Djoko Siswanto mengatakan, perkembangan Perpres CPE masih dalam tahap finalisasi anggaran. Di mana pemerintah masih membahas konsep akhir cadangan penyangga dan diharapkan menjadi solusi saat kekurangan energi.
Djoko juga menyampaikan, bahwa sejak 2006 konsep Perpres CPE sudah masuk Sekretariat Negara, hanya saja konsep tersebut ditarik kembali. Itu dilakukan karena menimbang konsep yang membutuhkan biaya dan infrastruktur besar untuk menyimpan cadangan tersebut. Namun, April 2021 Djoko menjelaskan kalau DEN sudah mempresentasikan kembali konsep CPE ke Presiden.
“Kita sedang finalisasi hitung-hitungannya, karena tuntutannya berbeda di masing-masing daerah tentang infrastruktur CPE. Hari Senin (11/10) kita akan bahas lagi, mudah-mudahan bisa jadi solusi ke depan bila kekurangan energi,” ujarnya.
Di sisi lain, cadangan operasional fosil masih sekitar 20-25 hari, kita juga masih mengekspor gas dan batu bara. Adapun cadangan operasional tidak hanya berasal dari Pertamina saja, perusahaan lain juga diminta untuk menyiapkan cadangan operasionalnya.
Djoko juga menambahkan kalau saat ini ketahanan energi Indonesia masih dalam kondisi aman. Hal itu dilihat dari indeks ketahanan energi periode 2014 hingga 2020. Di mana catatan DEN per 2019, indeks berada di 6,57 yang mencerminkan tren meningkat dengan kondisi tahan.
"Indeks Ketahanan Energi kita di 6,57 masih dalam kategori tahan, dari tingkat tertinggi sangat tahan di level 8. Setiap tahunnya, indeks ketahanan energi terus meningkat," ujar Djoko dalam kesempatan yang sama.
Terdapat empat aspek yang menjadi faktor penentu indeks ketahanan energi Tanah Air masih aman. Pertama, dilihat dari ketersediaan energi atau availability. Ini mengacu pada ketersediaan sumber energi dan energi baik dari domestik maupun luar negeri.
Kedua, harga terjangkau alias affordability. Itu mencerminkan keterjangkauan biaya investasi energi mulai dari biaya eksplorasi, produksi dan distribusi, hingga keterjangkauan konsumen terhadap harga energi. Ketiga, kemampuan akses atau accessibility, yakni kemampuan mengakses sumber energi, infrastruktur jaringan energi, termasuk tantangan geografi dan geopolitik.
Aspek terakhir atau keempat adalah ramah lingkungan atau acceptability. Dalam hal ini, penggunaan energi meliputi upaya peduli lingkungan baik darat, laut dan udara. Itu juga termasuk penerimaan masyarakat, seperti nuklir dan sebagainya.
“Dari segi harga pemerintah yang terapkan, stock aman, ekspor kita dapat profit, jadi stok dan harga aman. EBT kita juga aman. Jadi ketahanan masih bagus, kita aman berdasarkan hitung-hitungan itu,” kata Djoko.
Saat ini sejumlah negara seperti Eropa dan China tengah terjadi krisis energi yang ditandai dengan meroketnya harga gas dan batu bara, serta disusul dengan kenaikan harga minyak. Meroketnya kebutuhan gas di Eropa mengakibatkan impor LNG meningkat, yang sebagian berasal dari pasar Asia Pasifik.
Di sisi lain, kondisi pemulihan ekonomi di Cina telah mendorong peningkatan permintaan komoditas energi. Hal ini diperparah adanya embargo supply batu bara dari Australia, yang menyebabkan harga batu bara mencapai tingkat tertinggi selama sejarah, melebihi US$ 250 per ton awal Oktober ini.
Gubernur Indonesia untuk OPEC 2015-2016 Widhyawan Prawiraatmadja mengatakan, lonjakan harga energi bakal berdampak pada peningkatan harga komoditas lainnya. Hal itu akan diikuti naiknya layanan jasa, sehingga berpotensi mengancam kenaikan inflasi.
"Kondisi Indonesia sangat rentan terhadap peningkatan harga energi primer, khususnya minyak bumi yang ketergantungan impornya tinggi. Ditambah lagi, harga produk BBM dan elpiji 3 kilogram masih disubsidi," kata Wawan dalam kesempatan yang sama.
Di sisi lain yang tidak kalah penting adalah terkait transisi energi. Kebijakan transisi yang hanya melihat pada kebutuhan jangka pendek dapat mendorong terjadinya underinvestment dalam menghadapi pertumbuhan permintaan energi bersih maupun bersih fosil yang saat ini masih meningkat.
"Implementasi energi transisi yang tidak matang dapat menyebabkan Indonesia menjadi rentan ketika terjadi gangguan pasokan baik dalam negeri maupun dalam konteks global seperti saat ini," ujarnya.