• Krisis energi telah meluas dari Inggris, Tiongkok, Korea Selatan, hingga India.
  • Momentum pemulihan ekonomi di tengah pandemi diperkirakan akan terhambat.
  • Penekanan pada revolusi hijau dan transisi energi mendorong kenaikan bahan bakar fosil. 

Dunia sedang tidak baik-baik saja. Setelah pandemi, kini krisis energi besar pertama di era transisi dari bahan bakar fosil ke energi bersih datang. Kondisi ini diperkirakan baru permulaan dan bukan yang terakhir. 

Perdana Menteri Boris Johnson pada pertengahan bulan lalu sempat sesumbar di depan Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). “Ketika Kermit Si Katak menyanyikan It’s Not Easy Being Green, saya ingin Anda tahu bahwa dia salah,” ucapnya, dikutip dari Reuters.

Advertisement

Kermit adalah karakter boneka kodok berwarna hijau yang muncul dalam serial televisi anak-anak, The Muppet Show. Konteks hijau dalam pernyataan Johnson adalah transisi energi dari bahan bakar fosil ke energi baru terbarukan (EBT). 

Beberapa hari setelah komentarnya tersebut, Inggris mengalami krisis. Pembangkit listrik hijaunya tidak bisa memasok maksimal kebutuhan setrum di sana. Di sisi lain harga gas sedang menjulang tinggi dan pasokannya berkurang.

Pemerintah di sana akhirnya memilih keputusan paling ekonomis, memakai lagi pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbahan bakar batu bara. Inggris berjanji komitmen transisi energi tetap berjalan dengan pemakaian batu bara tidak lebih dari 3% dari jumlah pembangkit terpasang. 

Masalahnya, harga gas alam yang tinggi diperkirakan akan bertahan hingga tahun depan. Angkanya telah naik lima kali lipat dan kemungkinan akan terus naik hingga musim semi tahun depan. 

Sebagai informasi, sejak 2012 Uni Eropa memasukkan bahan bakar gas sebagai energi hijau. Gas dinilai menghasilkan lebih sedikit karbon dioksida dibandingkan batu bara dan minyak. The Guardian menulis, keputusan ini merupakan hasil 18 bulan lobi intensif para pelaku industri gas.

Melansir dari The Independent, Inggris sangat rentan terhadap lonjakan harga gas dibanding negara Eropa lainnya. Lebih dari 40% pembangkitnya memakai energi fosil tersebut. Di sisi lain, kapasitas penyimpanannya minim. Para ekonom menyebut masalah yang terjadi sangat akut. 

Sedangkan di Jerman hanya 17% pembangkitnya bertenaga gas dan Prancis 7%. Sisanya adalah pembangkit energi terbarukan, seperti tenaga angin, nuklir, dan matahari.

Rusia dan Amerika Serikat berjanji akan mengisi kekurangan gas di Inggris. Cadangannya kini sekitar 72%, jauh di bawah rata-rata lima tahun terakhir yang sebesar 88%.

Seluruh kondisi ini membuat harga listrik akan naik. Tagihan setrum di Inggris bisa naik 30% pada tahun depan jika harga gas  terus melonjak.

Para pelaku industri mendesak pemerintah dan regulator gas serta listrik Inggris, Ofgem, untuk menerapkan tindakan darurat pada musim dingin. “Masalahnya bukan hanya pasokan gas dan listrik tersedia, tapi juga harga,” kata Ketua Grup Pengguna Energi Intensif (EIUG) Dr. Richard Leese, Kamis (7/10). 

PLTU Suralaya
Ilustrasi pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbahan bakar batu bara. (Arief Kamaludin|KATADATA)

Krisis Energi di Asia

Batu bara pun sepertinya tidak akan menutup celah kekurangan pasokan listrik di Inggris. Harganya telah naik menyusul sinyal dari Tiongkok yang akan melakukan impor lebih banyak.

Tak lama setelah Inggris, Negeri Panda menghadapi krisis energi karena pasokan batu bara yang menipis. Masalah muncul karena gangguan di pertambangan yang menyeret jumlah produksi ke bawah tingkat tahun lalu. 

Produksi yang rendah memicu kenaikan tajam harga batu bara. Dalam catatan Reuters, harganya telah mencapai rekor tertinggi. Lonjakannya mencapai lebih dari 80% pada tahun ini. 

Masalah lainnya, Beijing menetapkan harga listrik untuk warganya. Hal ini membuat pembangkit batu bara tidak dapat beroperasi secara ekonomis. 

Pemerintah di sana terpaksa melakukan pembatasan penggunaan energi. Aktivitas ekonomi menjadi menyusut. Goldman Sachs memperkirakan sebanyak 44% pelaku industri Tiongkok mengalami kekurangan listrik saat ini. Pemadaman listrik terjadi, terutama di wilayah timur laut negara tersebut.

Pemerintah Tiongkok pada Senin lalu mengatakan perusahaan listrik berbahan bakar batu bara sedang memperluas pengadaan pasokan dengan biaya berapa pun. Namun, para pedagang komoditas menyebut menemukan sumber impor lebih mudah diucapkan daripada dilakukan. 

Masalah peningkatan harga komoditas untuk pembangkit mulai merembet ke negara lain. Korea Selatan dan India mulai mengalami kekurangan pasokan. Padahal, aktivitas ekonomi sedang naik seiring dengan pelonggaran kebijakan Covid-19. 

Perusahaan listrik terbesar di Negeri Ginseng, Korea Electric Power Corporation (Kepco), akan menaikkan harga. Kenaikan ini, melansir dari South China Morning Post, merupakan yang pertama sejak delapan tahun terakhir. Langkah tersebut untuk mengatasi lonjakan harga gas alam cair (LNG). 

Korea Selatan mengandalkan impor energi hampir 93,5% dari kebutuhan domestiknya. Bauran energinya saat ini terdiri dari LNG 17,7%, minyak bumi 38,7%, batu bara 27,1%, nuklir 10,3%, dan energi terbarukan 6,2%

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement