Inggris Bujuk Arab Saudi Dongkrak Produksi untuk Meredam Harga Minyak
Perdana Menteri (PM) Inggris Boris Johnson tengah berupaya membujuk pemerintah Arab Saudi untuk meningkatkan produksi demi menjinakkan harga minyak dunia yang berpotensi memicu resesi global.
The Times melaporkan bahwa Johnson akan melakukan perjalanan ke negara produsen minyak terbesar dunia itu pekan ini. Seorang sumber mengatakan bahwa Johnson telah membangun hubungan baik dengan para pemimpin Arab Saudi.
Arab Saudi dan Uni Emirat Arab (UEA) sejauh ini telah menolak permintaan Amerika Serikat (AS) untuk mengeluarkan kapasitas produksi cadangan mereka.
Hal ini salah satunya karena ketegangan hubungan Arab Saudi dengan negara barat karena berbagai masalah seperti perang Yaman dan pembunuhan jurnalis Jamal Khashoggi di kedutaan besar Arab Saudi di Istanbul, Turki.
Menteri Kesehatan Inggris Sajid Javid mengatakan bahwa Arab Saudi adalah salah satu produsen minyak terbesar di dunia yang posisinya sangat penting di tengah krisis energi global yang disebabkan perang di Eropa.
“Sangat tepat bagi para pemimpin dunia untuk terlibat dengan Arab Saudi dan mencoba bekerja sama,” ujarnya seperti dikutip Reuters, Senin (14/3).
Harga minyak dunia menyentuh rekor tertingginya sejak 2008 seiring kekhawatiran perang Rusia Ukraina akan mengganggu pasokan minyak. Hal ini karena Rusia merupakan salah satu negara produsen minyak terbesar di dunia.
Harga minyak acuan global, Brent naik ke rekor US$ 139,13 per barel pada Senin (7/3), sementara minyak mentah AS, West Texas Intermediate (WTI) naik ke US$ 130,50. Meski demikian dalam sepekan terakhir harga minyak mulai berangsur turun. Kini Brent berada di US$ 108,6 per barel, sedangkan WTI US$ 104,2 per barel.
Konflik Rusia-Ukraina mendorong AS dan banyak perusahaan minyak Barat untuk berhenti membeli minyak Rusia. Namun, ada pembicaraan tentang penambahan pasokan potensial dari Iran, Venezuela, dan Uni Emirat Arab.
Analis Commonwealth Bank Vivek Dhar menilai, kesenjangan pasokan tidak mungkin diisi oleh output tambahan dari anggota OPEC dan sekutu yang bersama-sama disebut OPEC+ karena Rusia termasuk dalam kelompok tersebut.
Beberapa produsen OPEC+, termasuk Angola dan Nigeria, telah berjuang untuk memenuhi target produksi, membatasi kemampuan kelompok itu untuk mengimbangi penurunan pasokan dari Rusia.
“Pelaku pasar sekarang akan memantau dengan cermat data ekspor Rusia untuk mengetahui berapa banyak pasokan yang akan terganggu,” kata analis UBS Giovanni Staunovo.
Dia menambahkan pasar juga akan memantau laporan pasar minyak dari International Energy Administration (IEA) dan OPEC. Keduanya telah mengindikasikan bahwa tahun ini pasar akan kelebihan pasokan.