Produksi Baterai, Awal Ekosistem Industri Kendaraan Listrik

Shabrina Paramacitra
3 Juni 2022, 17:04
Produksi Baterai, Awal Ekosistem Industri Kendaraan Listrik
ANTARA FOTO/Fikri Yusuf/aww.
Presiden Joko Widodo (tengah) menyapa tamu undangan didampingi Menko Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan (kanan) dan Menteri BUMN Erick Thohir (kiri) saat peresmian Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) Ultra Fast Charging di Central Parking Nusa Dua, Badung, Bali belum lama ini.

Maret 2021 menjadi momen penting bagi Indonesia: memiliki perusahaan produsen baterai untuk kendaraan listrik, yakni PT Indonesia Battery Corporation (IBC).

Ini merupakan tonggak bersejarah yang menandai komitmen Indonesia dalam mendukung energi baru terbarukan (EBT).

Badan Usaha Milik Negara (BUMN) mengambil peran krusial dalam pembentukan perusahaan tersebut. IBC yang digawangi Mining Industry Indonesia (MIND ID), PT Aneka Tambang Tbk, PT Pertamina serta PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) itu dibentuk demi menjalankan titah pemerintah di bidang EBT.

IBC akan berperan dalam ekosistem electric vehicle dengan fokus awal bisnis pembuatan baterai, electric vehicle, energy storage system, hingga battery recycling dengan berpartner dengan pemain global.

Dengan memproduksi baterai sendiri, industri otomotif yang tidak bergantung kepada bahan bakar minyak (BBM) diharapkan akan lebih cepat bertumbuh.

“Dengan adanya EV battery (baterai kendaraan listrik), akan membuat Indonesia lebih kuat dan bersahabat dengan ekonomi hijau,” kata Menteri BUMN Erick Thohir beberapa waktu lalu.

Menurut dia, setelah memproduksi baterai, nantinya industri otomotif di Indonesia akan mengarah kepada produksi motor listrik, serta sistem manajemen energi atau energy management system (EMS) yang lebih dominan ketimbang mobil listrik. Strategi ini dilakukan karena pengendara motor lebih banyak ketimbang pengendara mobil.

Pemerintah memang telah memiliki peta jalan pengembangan kendaraan listrik hingga 2035. Tahun 2025, angka produksi mobil listrik ditargetkan sebanyak 400 ribu unit, sementara motor listrik 1,76 juta unit.

Lima tahun kemudian, produksi mobil listrik diharapkan mencapai 600 ribu unit, sementara motor listrik 2,45 juta unit.

Berlanjut lagi, pada 2035, Indonesia ditargetkan mampu memproduksi 1 juta unit mobil listrik serta 3,22 juta unit motor listrik. Adapun penurunan emisi gas buang pada tahun tersebut nantinya ditargetkan sebesar 4,6 juta ton karbon dioksida (CO2).

Sementara penurunan emisi gas buang dari sektor kendaraan roda dua ditargetkan sebesar 1,4 juta ton CO2.

Selain produksi kendaraan, pada 2025 mendatang, pemerintah juga menargetkan tersedianya Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) di 2.400 titik, serta Stasiun Penukaran Baterai Kendaraan Listrik Umum (SPBKLU) di 10.000 titik.

Target-target ini ditetapkan atas dasar potensi kekayaan alam Indonesia sangat strategis untuk dimanfaatkan sebagai lokasi pengembangan industri kendaraan listrik. Tahun lalu saja, Indonesia memiliki sumber-sumber daya alam yang beragam untuk mendukung pembuatan baterai (lihat databoks di bawah ini)

Di samping itu, Indonesia juga kaya dengan nikel, salah satu bahan utama pembuatan baterai kendaraan listrik (lihat databoks di bawah ini).

Asing Tertarik Berinvestasi
Tak hanya BUMN, perusahaan-perusahaan asing juga menaruh minat besar terhadap pengembangan kendaraan listrik di Indonesia.

Perusahaan asal Cina, Contemporary Amperex Technology Co Ltd (CATL), bekerja sama dengan IBC untuk membangun pabrik baterai kendaraan listrik senilai US$ 5,97 miliar atau sekitar Rp 85,77 triliun.

Kerja sama ini juga melibatkan cucu usaha CATL, yakni Ningbo Contemporary Brunp Lygend Co Ltd, yang sekaligus merupakan anak usaha Brunp Recycling Technology Co Ltd.

Brunp Recycling Technology adalah anak usaha CATL yang memproduksi baterai kendaraan listrik untuk sejumlah merek mobil tekemuka, termasuk di antaranya BMW, Volkswagen, dan Tesla.

Selain CATL, IBC juga menggandeng perusahaan baterai asal Korea Selatan, LG Energy Solutions (LGS). LGS membangun pabrik sel baterai di Kabupaten Karawang, Provinsi Jawa Barat.

Induk usaha LGS, yakni LG Chem (LG), ikut tergabung dalam konsorsium bersama IBC, Hyundai Motor Company (melalui Hyundai Mobis) dan KIA Corporation. Konsorsium itu bekerja sama dalam pembentukan perusahaan patungan bernama PT HKML Battery Indonesia.

Pabrik sel baterai LGS berkapasitas produksi 10 gigawatt jam (GWh), dan akan ditingkatkan secara bertahap hingga menjadi 30 GWh. Sel baterai yang diproduksi di pabrik ini nantinya akan menyuplai kendaraan listrik buatan Hyundai.

Total, LG menggelontorkan investasi senilai US$ 9,8 miliar atau sekitar Rp 144,4 triliun untuk membangun industri baterai listrik terintegrasi di Indonesia.

Bukan tanpa sebab IBC menjalin kerja sama ini. Baik CATL maupun LGS, keduanya merupakan produsen baterai kendaraan listrik terbesar di dunia.

“CATL menguasai 80 persen pasar kendaraan listrik di Cina,” ungkap Direktur Utama IBC Toto Nugroho dalam acara Mining Zone, Rabu (11/5).

Di samping itu, CATL juga menguasai pangsa pasar kendaraan listrik di Amerika dan Eropa. “Sementara LG (LGS) ini terbesar nomor dua di dunia,” ujar Toto melanjutkan. Selain CATL dan LG, ada pula Huayou Cobalt, Foxconn, serta beberapa perusahaan lainnya yang berminat pada industri kendaraan listrik di Indonesia.

“Terakhir sudah positif BASF masuk, VW sudah positif masuk. Jadi sekarang yang masuk itu, LG, CATL, BASF, VW, Bristishvolt dari Inggris,” kata Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia dalam konferensi pers virtual, Rabu (27/4).

Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah menyiapkan Kawasan Industri Terpadu (KIT) Batang di Provinsi Jawa Tengah sebagai kawasan pengembangan baterai kendaraan listrik. Di KIT seluas 4.300 hektar (ha) itu, aktivitas produksi baterai dan kendaraan listrik akan saling terintegrasi.

Mantan Ketua Umum Badan Pengurus Pusat Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (BPP HIPMI) itu mengatakan, selain keunggulan akan sumber daya alamnya, ketertarikan perusahaan kendaraan listrik asing berinvestasi di Indonesia didukung oleh ekosistem produksi baterai yang komprehensif dari hulu hingga ke hilir. Mulai tambang, smelter, prekursor, sel baterai, hingga daur ulangnya.

“Kita (Indonesia) hanya tidak punya litium saja,” kata Bahlil di sela-sela Road to G20: Investment Forum ‘Mendorong Percepatan investasi Berkelanjutan dan Inklusif’, dikutip Kamis (2/6). Ia pun memastikan kesiapan pemerintah dalam memfasilitasi investor untuk memproses perizinan.

Tidak Cukup Hanya Nikel
Tantangan terbesar produksi kendaraan listrik di Indonesia bukan hanya perkara baterai. Namun, ekosistem dari industri itu sendiri.

Hal itu diungkapkan Direktur Industri Maritim, Alat Transportasi, dan Alat Pertahanan Kementerian Perindustrian Sony Sulaksono. Dalam acara SAFE Katadata Forum 2021, Rabu (25/8/2021), meski Indonesia memiliki cadangan nikel terbesar di dunia, tapi ke depannya harus tetap ada persiapan untuk alternatif.

“Memang kita (Indonesia) punya deposit (nikel) besar, tapi kalau dikeruk terus lama-lama akan habis,” ujar Sony. Artinya, Indonesia tidak boleh lengah dan harus mulai mempersiapkan baterai jenis baru yang tidak mengandung nikel.

Kepada para produsen baterai, Sony mengingatkan agar fokus produksi lebih ditekankan untuk mendukung industri kendaraan listrik, bukan sektor yang lain.

Mengenai target-target produksi kendaraan listrik yang cukup tinggi, Sony mengatakan, Kementerian Perindustrian sangat mendorong agar semua pihak dapat mewujudkannya.

“Kita juga mencoba membangun ekosistemnya, karena yang paling penting adalah membangun ekosistemnya terlebih dahulu. Dan, ini tentu akan melibatkan banyak pihak,” ujar dia.

(Tim Riset Katadata)

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...