Larang Ekspor Timah, ESDM Hitung Investasi Satu Smelter Butuh Rp 2,3 T
Kementerian ESDM mengatakan masih banyak pekerjaan rumah yang perlu disiapkan sebelum merealisaikan kebijakan larangan ekspor timah. Diantaranya yakni menyiapkan sejumlah pabrik pengolahan dan pemurnian, atau smelter lanjutan yang nilainya mencapai Rp 20 miliar hingga Rp 2,3 triliun.
Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM, Ridwan Djamaluddin, mengatakan bahwa pemerintah perlu membangun sejumlah smelter untuk mengolah bijih timah menjadi produk lanjutan berupa tin solder, tin chemical, dan tin plate.
Dari hasil kajian kelompok kerja yang dibentuk oleh Kementerian ESDM dan pelaku usaha, ditemui besaran capex atau belanja modal senilai Rp 20 miliar untuk untuk mendirikan satu unit smelter tin solder berkapasitas 2.000 metrik ton per tahun.
Kemudian dibutuhkan Rp 300 miliar untuk membangun satu unit smelter tin chemical berkapasitas 10.000 metrik ton per tahun. Sedangkan untuk pengadaan satu unit smelter tin plate berkapasitas 160.000 metrik ton per tahun membutuhkan investasi hingga Rp 2,3 triliun.
Durasi pembangunan masing-masing smelter umumnya memutuhkan waktu sekira dua tahun. Sebelumnya Indonesia sudah menjalankan hilirisasi bijih timah menjadi logam timah batangan sejak tahun 2003.
"Kalau ada pertanyaan, kapan kita siap kalau industrinya kita bangun sekarang? dua tahun pabriknya kira-kira siap," kata Ridwan dalam Rapat Dengar Pendapat (DPR) dengan Komisi VII DPR RI pada Rabu (1/2).
Ridwan menyampaikan bahwa pembangunan smelter lanjutan harus dibangun sebagai fasilitas pendukung kebijakan larangan ekspor bijih timah. Saat masih menjadi konsentrat, timah dijual dengan harga US$ 15.500 per ton. Angka ini naik jadi US$ 22 ribu per ton saat sudah menjadi logam timah.
Nilai jual logam timah akan naik hingga 1,1 kali lipat saat menjadi tin solder, kemudian 1,75 kali lipat saat menjadi tin chemcial dan 1,5 kali lipat saat menjadi tin plate. "Angka-angka ini kami sampaikan untuk antisipasi larangan ekspor logam timah dalam waktu tidak terlalu lama ini," ujar Ridwan.
Serapan Industri Hilir Minim
Selain soal smelter, Ridwan juga menyoroti minimnya industri hilir timah domestik. Menurutnya, industri manufaktur domestik hanya menyerap maksimal 5% dari total produksi logam timah batangan di dalam negeri. "Tantangannnya end user-nya masih sedikit, data umum 5% maksimum. Rata-rata 3%," kata Ridwan.
Untuk menyiasati minimnya serapan industri hilir domestik, hasil diskusi kelompok kerja Kementerian ESDM dan pelaku usaha mengusulkan hilirisasi secara bertahap.
Sembari menunggu pembangunan smelter selesai, kelompok kerja mengusulkan adanya substitusi impor untuk produk-produk lanjutan timah yang belum bisa diproduksi di dalam negeri.
Di sisi lain, meningkatkan kapasitas produksi olahan timah yang sudah ada seperti tin solder dan tin chemical. "Satu sisi melarang ekspornya sembari di dalam kita kuatkan kapasitas dan yang sudah ada, agar terjadi keseimbangan," ujarnya.