Harga Batu Bara Anjlok, Bank Dunia Ramal Tekanan Belum Berakhir
Bank Dunia memprediksi tekanan terhadap harga batu bara tahun ini belum akan berakhir. Permintaan batu bara global diprediksi akan mencapai puncaknya pada 2023 dan akan turun dan melandai setelahnya.
Harga batu bara di ICE Newcastle, Australia, salah satu harga acuan dunia, turun tajam sepanjang tahun ini dari US$ 339,55 per ton pada akhir 2022 menjadi US$ 176,55 per ton pada Rabu (22/3) atau turun 48%. Harga sempat mencapai rekor tertinggi pada September 2022 di US$ 439 per ton.
“Harga diperkirakan akan lebih rendah pada 2023 dibandingkan dengan 2022, tetapi tetap tinggi menurut standar historis. Kemungkinan pengalihan pasokan dari invasi Rusia dan pembukaan kembali Cina yang lebih cepat dari perkiraan dapat berdampak pada prospek penurunan harga,” tulis Ekonom Energi Senior Bank Dunia, Paolo Agnolucci, dikutip dari blog resmi Bank Dunia, Kamis (23/3).
Harga batubara mulai menurun pada paruh kedua tahun 2022, meskipun masih jauh lebih tinggi dari rata-rata 5 tahun. Harga patokan Australia telah turun sekitar 50% dari puncaknya bulan September 2022, karena peningkatan produksi dan cuaca yang lebih hangat.
Sementara permintaan global mencapai titik tertinggi sepanjang masa pada 2022. Konsumsi meningkat kuat di India (10%) dan di Eropa (5%) sebagai respons terhadap fasilitas pembangkit listrik yang menggantikan gas alam dan mengisi kesenjangan pasokan imbas produksi yang melemah dari sumber lain termasuk nuklir dan air.
Konsumsi di Cina naik moderat, karena pertumbuhan ekonomi tetap lamban akibat pembatasan Covid-19. Di sisi lain, konsumsi batubara di Amerika Serikat turun sebesar 8% pada kuartal IV 2022 karena kenaikan harga gas alam yang kurang signifikan dibandingkan dengan Eropa. “Ini membatasi substitusi antara batu bara dan gas untuk pembangkit listrik di AS,” kata Agnolucci.
Namun tahun 2022 juga menandai rekor tertinggi sepanjang masa produksi batu bara global. Cina meningkatkan produksi sebesar 11% dibandingkan 2021, sementara produksi di India naik sebesar 16%.
Produksi batu bara AS meningkat 3% pada tahun 2022, meskipun terjadi penurunan konsumsi domestik dan kendala logistik. Di Indonesia, produksi meningkat hingga 4% di atas target tahunannya.
Sebaliknya produksi batu bara Afrika Selatan, salah satu negara produsen utama, mengalami penurunan karena kendala tenaga kerja dan transportasi kereta api.
Berkurangnya ekspor batubara Rusia ke Eropa diimbangi dengan peningkatan dari Kolombia dan Afrika Selatan. Ekspor dari Afrika Selatan ke Eropa mengalami peningkatan hampir enam kali lipat, sementara ekspor dari AS secara umum tetap stabil pada tahun 2022, walaupun sebagian dialihkan ke Eropa.
Ekspor Rusia, yang meningkat secara keseluruhan, telah dialihkan ke Cina dan India, menyusul larangan UE atas batubara Rusia pada kuartal III 2022. Ekspor Indonesia naik 14% pada 2022 dan mencapai titik tertinggi sepanjang masa meskipun ada dua larangan ekspor sementara.
Agnolucci mengatakan penurunan harga batu bara lebih lanjut dapat dibatasi dengan pengalihan perdagangan yang akan meningkatkan biaya transportasi, dan oleh kenaikan harga gas yang dapat mempengaruhi harga batu bara karena substitusi antara kedua bahan bakar tersebut, khususnya pada sektor ketenagalistrikan.
Peningkatan permintaan batubara jangka pendek yang diharapkan dapat dikompromikan oleh lepas landas ekonomi di Cina yang gagal terwujud dan pertumbuhan global yang lebih lambat dari perkiraan.
Dalam jangka panjang, risiko geopolitik dari invasi Ukraina telah meningkatkan tekad pemerintah untuk memfasilitasi transisi energi dari bahan bakar fosil. “Ini berarti ekspektasi bahwa permintaan batubara global akan mencapai puncaknya pada tahun 2023 dan stabil setelahnya,” ujarnya.