ESDM Pastikan Smelter Siap Serap Bauksit Saat Larangan Ekspor Berjalan
Kementerian ESDM pastikan seluruh produksi bauksit nasional dapat terserap oleh empat smelter yang ada ketika larangan ekspor bauksit berlaku efektif pada Juni 2023.
"Bukan katanya lagi, tapi bakal distop nanti. Stop ekspor bauksit itu sudah pasti," kata Staf Khusus Menteri ESDM Bidang Percepatan Tata Kelola Mineral dan Batu Bara (Minerba), Irwandy Arif saat ditemui di Kantor Kementerian ESDM pada Jumat (14/4).
Irwandy menyampaikan bahwa total serapan bauksit dari empat smelter yang ada saat ini mencapai 13,9 juta ton dengan keluaran 4,3 juta ton alumina.
Kapasitas input empat smelter eksisting diklaim mampu menyerap seluruh produksi bauksit domestik secara menyeluruh. Irwandy pun meminta agar para produsen bauksit menyetorkan hasil tambang mereka kepada empat perusahaan yang telah memiliki smelter pribadi.
Empat perusahaan itu yakni PT Indonesia Chemical Alumina, PT Bintan Alumina Indonesia, PT Well Harvest Winning Alumina Refinery Line-1 dan PT Well Harvest Winning Alumina Refinery Line-2. "Yang sekarang sudah produksi ada tiga, tapi satu perusahaan punya dua, jadi ada empat," ujar Irwandy.
Plh Direktur Jenderal Mineral dan Batu bara Kementerian ESDM, Muhammad Idris Froyoto Sihite, mengatakan pengesahan rencana kerja dan anggaran belanja (RKAB) perusahaan tambang tahun ini dilakukan secara ketat melalui tahapan penilai beberapa aspek seperti kompetensi perusahaan, pemenuhan kewajiban lingkungan, teknis hingga besaran modal tiap-tiap pelaku usaha.
Selain itu, target produksi bauksit perusahaan akan dikoreksi dengan menyesuaikan kebijakan larangan ekspor pada Juni 2023 sehingga tidak terjadi kelebihan pasokan. "RKAB bauskit saya pikir bukan tidak disetujui ya, tapi semua aspek harus mendukung sehingga nanti akan disesuaikan dengan target produksi mereka," kata Idris.
Di sisi lain, Direktur utama PT Aneka Tambang (Antam), Nico Kanter, mengatakan langkah tegas larangan ekspor akan memberikan kepastian bagi investor untuk membangun pabrik pengolahan mineral atau smelter di dalam negeri.
"Memang harus ada konsistensi dari pemerintah, kalau tiba-tiba minta relaksasi atau pengecualian nanti pasar akan melihat. Orang-orang yang mau investasi di smelter malah akan jadi lambat," kata Nico di Jakarta, Kamis (6/4).
Dia berharap pemerintah bisa mengantisipasi kejadian negatif saat program hilirisasi pada bijih nikel sedang digodok. Nico bercerita, saat itu para pelaku usaha memberikan dokumen studi kelayakan atau Feasibility Study (FS) pembangunan smelter untuk mendapatkan pengecualian larangan ekspor dari pemerintah.
Setelah pemerintah memberikan relaksasi tersebut, sejumlah pelaku usaha memilih untuk tak melanjutkan perencanaan pembangunan smelter tersebut. "Rumornya bahwa pemerintah akan menunda larangan seperti pengalaman kebijakan nikel, itu yang bikin kacau," ujar Nico.