Ekspor Tembaga akan Disetop, Berapa Setoran Royalti yang Hilang?
Pemerintah berencana menerapkan kebijakan larangan ekspor tembaga bersamaan dengan jenis mineral lainnya pada Juni tahun ini. Meski demikian pemerintah sepertinya masih bimbang lantaran belum belum memberi kepastian terkait rencana larangan ekspor konsentrat tembaga.
Hal ini lantaran PT Freeport Indonesia, salah satu produsen tembaga terbesar, melaporkan adanya potensi kerugian terhadap penerimaan negara hingga Rp 57 triliun jika ekspor tembaga dihentikan tahun ini. Besaran penerimaan negara yang hilang itu dihitung dalam bentuk pajak, deviden dan PNBP.
Juru Bicara Freeport, Katri Krisnati, larangan ekspor tembaga dapat mengakibatkan penangguhan kegiatan operasional perusahaan yang secara signifikan berdampak pada keseluruhan kegiatan operasional serta penjualan hasil tambang.
“Jika penangguhan operasional tambang PTFI terjadi, potensi kerugian bagi penerimaan negara melalui Pajak, Dividen dan PNBP mencapai Rp 57 triliun tahun ini," kata Katri, lewat pesan singkat WhatsApp pada Jumat (14/4).
Kementerian ESDM mencatat bahwa pada 2022 realisasi penerimaan negara bukan pajak (PNBP) pada sub sektor mineral dan batu bara (minerba) mencapai Rp 185,45 triliun, naik 180% dari tahun sebelumnya. Adapun Sekitar 80% royalti minerba disumbangkan oleh komoditas batu bara.
Jika dirincikan lebih lanjut, PNBP sub sektor minerba, komoditas tembaga menjadi penyumbang tertinggi ketiga setelah batu bara dan nikel, yakni Rp 4,8 triliun pada 2022. Adapun setoran royalti batu bara tercatat mencapai Rp 85,7 triliun dan nikel Rp 11 triliun.
Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara, Ridwan Djamaluddin, menyampaikan bahwa komoditas konsentrat tembaga merupakan mineral stategis sehingga keputusan moratorium barang tambang tersebut masih belum diputuskan secara final.
“Nanti biar diputuskan oleh pimpinan karena ini isunya agak stategis, jadi biar bukan pada level saya saja yang menyampaikan,” kata Ridwan saat ditemui di Kantor Kementerian BUMN beberapa waktu lalu, Selasa (21/3).
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira. Dia mengatakan bahwa kebijakan larangan ekspor konsentrat tembaga berpotensi memberikan dampak negatif bagi Indonesia.
"Apa benar pajak bisa naik justru dengan pembangunan smelter tembaga? Setelah jadi smelter tembaga kemana hasil barang tadi, siapa yang menikmati?," kata Bhima.
Menurut Bhima, pemaksaan penyetopan eskpor mineral mentah menimbulkan banyak kerugian bagi Indonesia. Diantaranya mulai dari banyaknya insentif pajak yang hilang, persoalan tenaga kerja asing, hingga masalah lingkungan dari operasional pertambangan.
"Bahkan ada kekhawatiran Indonesia kalah telak jika digugat di WTO soal pelarangan ekspor konsentrat tembaga. Larangan pada tembaga ini bisa berujung sama dengan nikel, negara sebenarnya tidak dapat hasil yang signifikan justru merugikan.