Pakar: Perpanjangan Ekspor Tembaga Melalui Permen Langgar UU Minerba
Langkah Kementerian ESDM untuk menerbitkan Peraturan Menteri (Permen) ESDM sebagai payung hukum perpanjangan masa izin ekspor konsentrat tembaga PT Freeport Indonesia dan PT Amman Mineral Nusa Tenggara hingga Mei 2024 dinilai melanggar Undang-Undang (UU) Nomor 3 Tahun 2020 tentang Minerba.
Pakar Hukum Energi Universitas Airlangga (UNAIR) Surabaya, Indria Wahyuni, menyampaikan bahwa regulasi dalam permen merupakan instrumen untuk mengajur substansi dari UU yang bersangkutan.
"Prinsip permen seperti itu, sehingga tidak boleh ada satu permen yang secara substansi bertentangan dengan UU," kata Indria kepada Katadata.co.id dihubungi lewat sambungan telepon pada Jumat (5/5).
Dia menjelaskan bahwa antitesis substansi yang tertulis di UU dapat dijalankan lewat pengesahan regulasi yang disahkan langsung oleh Presiden seperti Peraturan Presiden (Perpes) dan Peraturan Pemerintah (PP). Alasannya UU merupakan regulasi yang disahkan oleh langsung oleh presiden.
Sementara peraturan menteri merupakan aturan yang tetapkan oleh badan legislatif. Hal tersebut tertulis di Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
"Jika pemerintah ingin merelaksasi izin ekspor tembaga maka bentuk hukumnya bukan Permen ESDM, paling tidak Perpres karena itu adalah kewenangan dari garis kewenangan presiden," ujar Indria.
Dia juga menilai bahwa pembentukan Perpres maupun PP soal perpanjangan masa ekspor konsentrat tembaga juga harus memiliki dalil yang kuat. Seperti terjadi keadaan memaksa atau force majeure.
"Kalau satu Peraturan Menteri bisa menyimpangi UU maka akan berpotensi peraturan menteri-menteri yang lain bisa menyimpangi UU, kacau nanti urusannya," kata Indria.
Undang-Undang Hanya Bisa Dibatalkan Undang-Undang
Senada, Anggota Komisi VII DPR Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Mulyanto, menilai bahwa dasar hukum bagi izin ekspor konsentrat tembaga dalam bentuk Permen merupakan hal yang tak relevan.
Pemberian izin perpanjangan ekspor bertentangan dengan Pasal 170 A Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Minerba yang mengatur larangan ekspor mineral mentah secara serempak pada Juni 2023. "Undang-undang dibatalkan dengan Permen, ini aneh. Undang-undang hanya dapat dibatalkan dengan undang-undang juga," ujarnya.
Mulyanto menambahkan, rencana Kementerian ESDM yang bakal menerikan termin ekstra untuk ekspor konsentrat tembaga merupakan sikap diskriminatif dibandingkan dengan kebijakan untuk mineral lain seperti nikel dan bauksit yang masing-masing telah tetapkan larangan ekspornya.
Sebelumnya, Kementerian ESDM akan menyiapkan regulasi dalam bentuk Permen sebagai landasan hukum agar perpanjangan izin ekspor tembaga PT Freeport Indonesia dan PT Amman Mineral Nusa Tenggara hingga Mei 2024 tidak melanggar Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Minerba.
Pada pasal 170A UU Minerba, ekspor produk mineral yang belum dimurnikan berlaku maksimal tiga tahun sejak undang-undang tersebut disahkan. Adapun perpanjangan ekspor hingga Mei 2024 juga menjadi tenggat waktu maksimal bagi PTFI dan Amman Mineral untuk menyelesaikan proyek smelter.
Menteri ESDM, Arifin Tasrif, mengatakan bahwa penerbitan Permen tersebut menjadi jalan tengah bagi kebijakan pelaksanaan larangan ekspor seluruh mineral mentah yang berlaku serempak pada Juni 2023 tanpa harus merevisi UU Minerba.
"Kami lihat jika larangan ekspor ini berlaku Juni 2023, maka Freeport terdampak. Sementara Freeport yang punya Indonesia dengan porsi 51%," kata Arifin di Kantor Kementerian ESDM pada Jumat (28/4).
Relaksasi ekspor konsentrat tembaga bagi dua perusahaan tersebut merupakan sikap pemerintah yang memahami kondisi keterlambatan pembangunan smelter imbas Pandemi Covid-19. Arifin menyebut, keterlambatan pengadaan smelter juga disebabkan oleh mandeknya pekerja kontraktor dari Jepang selama kurang lebih dua tahun.