Pemerintah Kaji Ulang Rencana Pajak Ekspor Nikel Imbas Jatuhnya Harga
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, menyampaikan bahwa pemerintah tengah mengkaji ulang ihwal rencana penetapan pajak ekspor Fernonikel, nikel pig iron (NPI), dan nikel matte yang mengudara sejak awal 2022 lalu.
Langkah itu diambil sebagai respon pemerintah yang melihat adanya tren penurunan harga nikel sejak awal 2023. “Mungkin kita kemarin agak cepat memberikan usulan itu karena harganya bagus sehingga volume produksi tinggi. Namun sekarang harganya turun,” kata Luhut di Hotel Westin Jakarta pada Senin (9/5).
Merujuk laporan London Metal Exchange (LME) harga nikel untuk kontrak tiga bulan turun 3% ke US$ 23.997 per ton. Sepanjang 2023 berjalan, harga nikel LME merosot hingga 29,8% dari posisi US$ 31.150 di awal tahun.
Luhut tak memberikan kepastian lebih rinci terkait kelanjutan bea keluar ekspor komoditas hasil olahan bijih nikel kadar tinggi tersebut. Dia hanya menjelaskan bahwa pemerintah masih mencari momentum yang tepat untuk implementasinya. “Pemerintah akan melihat ekuilibriumnya dengan cermat,” ujar Luhut.
Adapun produk fernonikel, NPI, dan nikel matte merupakan bahan baku pembuatan baja tahan karat atau stainless steel. Lebih lanjut, pemerintah juga tak akan memberikan izin kepada pelaku usaha yang ingin mendirikan pabrik pengolahan dan pemurnian mineral (smelter) nikel yang menggunakan energi fosil.
Luhut mengatakan bahwa pemerintah hanya akan menginzinkan pembangunan smelter nikel yang menggunakan tenaga energi bersih. “Pemerintah tidak akan memberikan izin lagi kecuali dia pakai energi bersih,” ujar Luhut.
Pembatasan Smelter Nikel RKEF
Di sisi lain, pemerintah juga mulai membatasi pembangunan smelter nikel berteknologi Rotary Kiln Electric Furnace (RKEF). Langkah ini seiring berlebihnya produksi NPI atau feronikel yang menyebabkan harganya makin tertekan.
Pembatasan pembangunan smelter nikel RKEF ditujukan untuk menjaga pasokan bijih nikel untuk suplai bahan baku produk lanjutan yang lebih hilir, seperti prekursor, katoda, hingga baterai.
Moratorium penyediaan smelter RKEF dinilai penting untuk menambah alokasi suplai bijih nikel untuk smelter hidrometalurgi High Pressure Acid Leach Leaching (HPAL). Pembahasan moratorium pengadaan smelter RKEF kini telah menjadi pengkajian khusus di bawah Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi.
Staf Khusus Menteri ESDM Bidang Percepatan Tata Kelola Mineral dan Batu Bara (Minerba), Irwandy Arif, menyampaikan laju produksi NPI hingga feronikel saat ini meningkatkan konsumsi bijih nikel yang signifikan untuk memeroleh bijih nikel saprolit kadar tinggi 1,5%-3%.
Irwandy menjelaskan, serapan bijih nikel untuk memproduksi NPI dan feronikel saat ini mencapai 100 juga hingga 160 juta ton per tahun. Besaran ini akan bengkak menjadi 450 juta ton per tahun jika pembangunan smelter RKEF masih diteruskan. Di sisi lain, cadangan bijih nikel Indonesia hanya 5,2 miliar ton.
"Perlu pembatasan penambahan investasi smelter NPI dan pengembangan pasar dan industri domestik barang besi dan baja anti karat untuk menyerap NPI dan feronikel," kata Irwandy saat menjadi pembicara pada diskusi Peningkatan Kapasitas Media Sektor Minerba di Hotel Ashley Jakarta pada Rabu (8/3).
Dia menilai, pemerintah perlu meningkatkan eksplorasi untuk cadangan nikel sembari menggenjot smelter HPAL yang mampu mengolah bijih nikel limonite kadar rendah 0,8-1,5% menjadi menjadi campuran padatan hidroksida dari nikel dan kobalt Mix Hydroxide Precipitate (MHP) maupun Mix Sulphide Precipitate (MSP).
Produk tersebut merupakan bahan baku utama produksi nikel sulfat atau kobalt sulfat. Dua produk antara itu merupakan bahan baku komponen baterai. "Diperlukan pembangunan smelter HPAL yang menghasilkan produk untuk bahan baku baterai listrik," ujar Irwandy.