Angola Keluar dari OPEC, Protes Kebijakan Pengurangan Produksi
Angola memutuskan untuk membatalkan keanggotaanya dalam Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) karena berselisih dengan kebijakan kelompok tersebut terkait pemangkasan produksi untuk mengerek harga minyak.
Menteri Minyak Angola, Diamantino Azevedo mengatakan bahwa keanggotaan negaranya di OPEC tidak sejalan dengan kepentingan nasional mereka. Negara Afrika tengah ini memproduksi sekitar 1,1 juta barel per hari (bph) minyak atau sekitar 4% dari total produksi OPEC 28 juta bph.
Angola mengikuti langkah Ekuador yang keluar dari kelompok kartel minyak dunia inin pada 2020 dan Qatar pada awal 2019.
“Kami merasa Angola saat ini tidak mendapatkan apa-apa dengan terus bergabung dengan organisasi ini, dan demi kepentingan nasional, kami memutuskan untuk keluar,” kata Azevedo seperti dikutip dari Reuters, Jumat (22/12).
Keluarnya Angola menyusul protes dari Angola terhadap keputusan OPEC+ untuk memangkas kuota produksinya pada 2024. Perselisihan ini turut menunda pertemuan kebijakan terakhir OPEC+ pada bulan November dan kesepakatannya mengenai pembatasan produksi baru.
“Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada konsensus di dalam OPEC sendiri dan hal ini sudah terjadi sejak lama,” kata Ali Al-Riyami, mantan direktur jenderal pemasaran di kementerian energi Oman. “Tidak diragukan lagi akan ada konsekuensinya, tapi saya rasa (negara) lain tidak akan mengikuti.”
Nigeria adalah salah satu anggota OPEC di Afrika yang berupaya meningkatkan produksi dan kesulitan memenuhi kuotanya.
Pada pertemuan di bulan November, negara ini menerima target OPEC+ yang lebih tinggi untuk tahun 2024, meskipun lebih rendah dari yang diharapkan, sehingga membatasi kemampuannya untuk meningkatkan produksi jika negara tersebut mampu melakukannya.
Harga Minyak Sempat Anjlok 2,4%
Pengumuman keluarnya Angola dari OPEC sempat menekan harga minyak jatuh hingga 2,4% pada Kamis (21/12). Analis menilai keluarnya Angola menimbulkan pertanyaan tentang kesatuan OPEC dan OPEC+.
Namun, harga minyak berbalik naik atau rebound pada Jumat (22/12) siang, “dipengaruhi konflik geopolitik dan penerapan pengurangan produksi OPEC dalam waktu dekat,” kata Leon Li, analis CMC Markets di Shanghai, merujuk pada Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC).
“Jadi kesenjangan pasokan yang kecil kemungkinan akan terjadi pada bulan Januari tahun depan, dan minyak mentah WTI mungkin naik menjadi US$ 75-80 per barel,” katanya.
Harga minyak mentah Brent pada Jumat siang tercatat naik 0,9% menjadi US$ 80,09 per barel, sedangkan minyak West Texas Intermediate (WTI) juga naik 0,9% menjadi US$ 74,55 per barel.