Negara Berkembang dan Miskin Harus Transparan Kelola Dana Krisis Iklim
Menteri Ekologi Azerbaijan sekaligus Presiden KTT Iklim PBB COP29, Mukhtar Babayev mendesak pemerintah di negara berkembang dan miskin untuk menyusun laporan yang menunjukkan kemajuan mereka dalam mengurangi emisi gas rumah kaca, dan pengeluaran mereka untuk krisis iklim.
“Negara-negara berkembang dan miskin harus menunjukkan akuntansi dan transparansi yang lebih jelas untuk menarik triliunan dolar penadanaan keuangan iklim,” kata Babayev dikutip dari The Guardian, Selasa (7/5). Babayev mengatakan, langkah ini dilakukan untuk membangun kepercayaan yang benar, baik dan jujur ini di antara para pihak.
Ia juga berharap pada COP29 yang digelar November mendatang negara-negara maju memasok pendanaan terkait perubahan iklim ke negara-negara miskin. Pendanaan ini dilakukan untuk membantu mereka mengurangi emisi gas rumah kaca mereka dan beradaptasi dengan dampak cuaca ekstrem.
Babayev mengatakan beberapa pemerintah dari selatan global menyerukan agar jumlah dan penanganan iklim ini mencapai lebih dari US$1 triliun per tahun atau setara Rp 16 ribu triliun (Kurs Rp16.059 per dollar AS). Namun, ia menyebut kesepakatan ini akan menuai pro dan kontra dari negara-negara maju yang mungkin tidak setuju memberikan jumlah tersebut dari pajak mereka.
Babayev menjelaskan angka tersebut diperlukan untuk membantu negara-negara miskin memperbarui rencana pemotongan emisi mereka, yang dikenal sebagai kontribusi yang ditentukan secara nasional (NDC). Kebijakan ini sejalan dengan kebutuhan untuk membatasi kenaikan suhu hingga 1,5C di atas tingkat pra-industri.
Ia kembali menegaskan upaya untuk meningkatkan transparansi akuntansi untuk pengurangan emisi dan pengeluaran terkait perubahan iklim sebagai langkah pertama yang penting. “Ini seperti segitiga. Pertama, transparansi. Itu adalah kepercayaan di antara para pihak. Selanjutnya, keuangan. Selanjutnya, NDC,” ucapnya.
Transparansi, atau akuntansi yang jelas, adalah salah satu masalah pada negosiasi iklim global. Pasalnya selama ini, pemberi pendanaan penanganan iklim kesulitan memantau banyak variabel dalam upaya mengutangi emisi GRK hingga pengeluaran keuangan iklim.
Babayev menyebut ada banyak contoh bagaimana kurangnya transparansi menghambat upaya global untuk mengatasi krisis iklim. Misalnya, emisi GRK sering ditemukan jauh melebihi yang dilaporkan. Badan Energi Internasional pada 2022 menemukan bahwa emisi GRK dari metana 70% lebih tinggi daripada yang diakui negara-negara.
Diketahui dalam perjanjian Paris 2015, negara-negara harus mulai menyerahkan laporan transparansi baru. Negara-negara maju diharuskan untuk menyerahkan milik mereka terlebih dahulu, pada tahun 2022. Sementarq, untuk negara-negara berkembang batas waktunya adalah akhir tahun ini.
Babayev ingin negara-negara menyerahkan laporan mereka lebih awal jika memungkinkan, jauh sebelum COP29 dimulai pada 11 November. Ini dilakukan sebagai cara untuk membuka blokir kemacetan keuangan.
Ia mengatakan jika negara-negara miskin dapat menunjukkan dengan jelas bahwa mereka melakukan upaya untuk mengurangi emisi, beradaptasi dengan dampak krisis iklim. Selain itu, memperhitungkan keuangan iklim apa pun yang mereka terima.
Sehingga, negara-negara maju memiliki sedikit alasan untuk menahan keuangan iklim mereka dan dapat mengumpulkan dan untuk membantu negara miskin.