BASF dan Eramet Hengkang, Bisnis Nikel di Indonesia Tak Menarik Lagi?
Reforminer Institute menilai alasan mundurnya perusahaan kimia asal Jerman, BASF dan perusahaan metalurgi asal Prancis, Eramet SA dari proyek pembangunan smelter nikel akibat perubahan prospek bisnis.
“Saya kira memang sudah tidak menarik lagi bisnis nikel di Indonesia. Kemungkinan mereka mempertimbangkan prospek industri nikel kedepannya,” kata Komaidi saat dihubungi Katadata.co.id pada Jumat (29/6).
Komaidi mengatakan kondisi ini tidak hanya terjadi di Indonesia tetapi juga di negara lainnya, apalagi yang ada kaitannya dengan industri baterai kendaraan listrik (EV).
Dia menyampaikan bahwa dalam perkembangan teknologi saat ini baru saja ditemukan beberapa jenis baterai yang kandungan nikelnya tidak terlalu besar, dengan kapasitas penampungan energi yang jauh lebih besar dan berbiaya murah.
“Ini mungkin juga yang menjadi pertimbangan kenapa mereka memutuskan untuk katakanlah cari alternatif lain. Jadi lebih ke prospek bisnisnya, kalau mereka punya pilihan yang lebih menguntungkan ya pasti mereka akan memindahkan mumpung belum ada kontrak kerja,” ujarnya.
Selain prospek bisnis, Komaidi menyebut kampanye dirty nickel atau nikel kotor juga disinyalir sebagai faktor tambahan alasan kedua perusahaan tersebut mundur. Sebab menurutnya penambangan nikel dimanapun itu pasti ada jejak emisinya. Hal tersebut tidak hanya terjadi di Indonesia namun juga di negara lain.
“Jadi kalau ada yang menyampaikan seperti itu ya faktor tambahan saja. tapi yang lebih penting atau yang lebih utama ya prospek bisnisnya. Sekotor apapun kalau menguntungkan atau cocok dengan prospek bisnis yang mereka cari ya mereka tetap investasi,” ucapnya.
Sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengungkapkan alasan mundurnya dua perusahaan asal eropa, BASF dan Eramet, dalam proyek pembangunan smelter nikel di Sulawesi.
“Kalau BASF kan mereka mau menggunakan produk akhir dari industrinya. Mereka mengatakan kalau sudah mendapat suplier lain,” ujarnya saat ditemui di Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Ditjen Migas) pada Jumat (28/6).
Oleh sebab itu, Arifin mengatakan akhirnya kedua perusahaan tidak melanjutkan investasinya di proyek ini. “Mungkin sudah dapat pasokan dari tempat lain, tapi kami belum tahu alasan dibaliknya,” ujarnya.
Eramet mengatakan pasar nikel global telah berubah signifikan sejak proyek tersebut dimulai sehingga perusahaan menilai tidak perlu lagi melakukan investasi besar di proyek tersebut.
Menanggapi hal tersebut, Arifin mengatakan bahwa kondisi pasar nikel global saat ini terdapat pembatasan nikel yang diproduksi Cina seperti dari Eropa dan Amerika, juga Kanada. “Akibatnya permintaan turun, apalagi kondisi ekonomi melemah,” ucapnya.
Meski kedua perusahaan menyatakan mundur, namun Arifin memastikan bahwa proyek tersebut akan berlanjut. “Kami akan cari yang lain, masih banyak pihak yang mau,” kata dia.