Prabowo Mau Bangun 75 GW Pembangkit Energi Terbarukan Hingga 2040, Masuk Akal?
Baku, Azerbaijan – Presiden Prabowo Subianto punya target ambisius dalam soal capaian energi bersih, setidaknya itu tercermin dalam rencana penambahan kapasitas listrik nasional. Pemerintahannya merencanakan penambahan kapasitas listrik sebesar 103 gigawatt dalam waktu lima belas tahun hingga 2040. Sebanyak 75 gigawatt di antaranya berasal dari pembangkit energi baru dan terbarukan, lima gigawatt dari nuklir, dan sisanya gas.
Sebagai perbandingan, berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, total kapasitas terpasang pembangkit listrik nasional sebesar 91 gigawat hingga akhir 2023, dengan kapasitas dari pembangkit energi baru dan terbarukan tak sampai 15 persennya yaitu 13,5 gigawatt. Dengan kapasitas terpasang tersebut, operator listrik nasional Perusahaan Listrik Negara (PLN) masih mencatatkan situasi kelebihan pasokan alias oversupply.
Rencana Prabowo bermakna dua hal. Pertama, optimisme roda ekonomi berputar kencang sehingga Indonesia butuh kapasitas listrik lebih dari dua kali lipat sekarang. Kedua, keinginan mengimbangi jumlah pasokan listrik yang berasal dari energi fosil (batubara dan migas) dengan yang berasal dari energi baru dan terbarukan untuk mencapai komitmen iklim. Dengan rencana Prabowo, porsinya akan nyaris 50-50 pada 2040.
Prabowo memang membidik ekonomi tumbuh minimal delapan persen per tahun. Ini jauh lebih tinggi dari rata-rata pertumbuhan selama ini yang berkisar lima persen. Seperti kata Hashim Djojohadikusumo, bos Arsari Group, adik kandung Prabowo, yang menjadi utusan khusus Prabowo dalam konferensi PBB di bidang iklim COP29 di Baku, Azerbaijan.
“Indonesia akan mencapai energi yang murah dan bersih sambil mengakselerasi agar ekonomi tumbuh minimal 8 persen,” ujarnya saat menghadiri diskusi di Paviliun Indonesia di sela-sela pertemuan pemimpin dunia COP29 di Baku, Senin, 11 November. Janji lengkapnya, pemerintah akan memperluas kapasitas ekonomi nasional, menambah lapangan kerja, menurunkan kemiskinan, dan kesejahteraan bagi masyarakat sambil menjaga lingkungan.
Dari sederet pernyataan Hashim di berbagai kesempatan berbeda di COP29, program penyediaan tiga juta rumah murah per tahun jadi salah satu program kunci yang bakal mengakselerasi ekonomi dan energi bersih. Bagaimana logikanya?
Penyediaan rumah ini, jika berjalan sesuai harapan, bakal memiliki efek ekonomi berantai karena menciptakan proyek antara lain bagi pelaku usaha konstruksi, pengembang properti, pelaku industri bahan bangunan, dan para pekerjanya. Rumah-rumah itu disebut akan memaksimalkan penggunaan energi bersih seperti energi surya.
Di luar itu, pemerintah tengah mengkaji kebijakan seputar pusat data. Keinginannya adalah agar penyedia layanan pusat data alias data center yang masuk pasar Indonesia, membangun pusat data-nya di Indonesia juga. Pusat data butuh pasokan listrik dalam jumlah besar yang utamanya bersumber dari energi terbarukan. Ini bisa mendongkrak permintaan listrik. "Pemerintah Indonesia sedang mengkaji kalau data center ya hendaknya dibangun di Indonesia," ujarnya saat ditanya Katadata dalam sesi wawancara khusus di Baku, Rabu, 13 November.
Namun, kebutuhan dana untuk mencapai target ambisius ini tidak main-main. Program penambahan kapasitas listrik 75 gigawatt dari energi terbarukan membutuhkan biaya US$ 235 miliar atau sekitar Rp 3.700 triliun, terbesar untuk kabel transmisi antarpulau sepanjang 70.000 kilometer. Kabel transmisi ini untuk menyalurkan listrik dari pembangkit energi terbarukan yang nantinya tersebar di berbagai wilayah di Indonesia ke kantong-kantong permintaan listrik.
Presiden Direktur PLN Darmawan Prasodjo menilai, pengeluaran untuk pembangunan energi terbarukan ini “bukan tradeoff (atau beban ke ekonomi).” Sebab, ini akan membuka keran investasi di berbagai bisnis yang membutuhkan listrik bersih seperti pusat data dan pemurnian mineral. Ditambah lagi, produksi listrik dari energi terbarukan semakin murah sehingga bisa jadi andalan di masa depan. Problemnya, APBN Indonesia saat ini baru mampu mendanai sekitar 30 persen dari ribuan triliun rupiah yang dibutuhkan.
Ia pun menyampaikan ajakan kolaborasi untuk mendukung rencana transisi energi Indonesia di bidang kelistrikan tersebut. “Tantangan iklim global membutuhkan solusi global,” ujarnya dalam diskusi yang digelar McKinsey di sela-sela COP29 di Baku, Senin, 11 November.
Dengan kata lain, rencana Prabowo menambah kapasitas listrik energi baru terbarukan tergantung sejumlah faktor, utamanya kenaikan tinggi permintaan listrik yang antara lain bisa dicapai dari ekonomi nasional yang tumbuh kencang, meski bisa juga dari perluasan ekspor listrik sebagaimana sempat dibidik Jokowi di periode kedua pemerintahannya. Selain itu, kesiapan dana investasi hingga ribuan triliun rupiah.
Rencana peningkatan tinggi kapasitas listrik ini mengingatkan pada cerita era Jokowi. Di periode pertama pemerintahan, Jokowi mencanangkan program 35 gigawatt. Ini untuk mengatasi masalah kesulitan masyarakat mendapatkan listrik. Namun belakangan, program itu disebut sebagai penyebab oversupply listrik PLN yang melahirkan beban keuangan ke perusahaan listrik negara tersebut. Pasalnya, target 35 gigawatt dicanangkan dengan asumsi ekonomi tumbuh tujuh persen sehingga mendongkrak permintaan listrik. Namun, pertumbuhan ekonomi setinggi itu tidak terjadi.
Liputan khusus COP 29 Azerbaijan ini didukung oleh: