Bank Mandiri Pertegas Peran Strategis dalam Mendorong Investasi EBT di Indonesia
Bank Mandiri melihat potensi Energi Baru Terbarukan (EBT) di Indonesia sangat besar hingga mencapai 3.687 GW, meskipun tingkat utilisasinya saat ini terbilang belum maksimal.
Penggunaan EBT turut menentukan keberhasilan tercapainya target emisi nol bersih atau net zero emissions (NZE) pada tahun 2060 atau lebih cepat. Maka dari itu, potensi ini dapat terealisasi melalui dukungan berbagai pihak, salah satunya adalah sektor perbankan.
“Realisasi total dari enam sumber EBT di Indonesia baru mencapai 0,36 persen. Enam sumber energi tersebut antara lain seperti solar, angin, air, tidal, bioenergi, dan geotermal,” kata Alexandra dalam acara hari kedua di sesi Renewable Energy Leadership Forum, pada COP 29 di Baku, Azerbaijan (12/11).
Dari keenam sumber energi terbarukan itu, geotermal menempati peringkat utilisasi teratas dengan tingkat penggunaan sebesar 10,52 persen, sedangkan energi tidal belum terealisasi.
Alexandra menjelaskan lebih lanjut, rendahnya penggunaan EBT disebabkan oleh tingkat investasi yang jumlahnya cenderung kecil jika dibandingkan dengan energi berbasis fossil fuel.
Mengutip data dari Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA), selama tujuh tahun ke belakang, realisasi investasi EBT di Indonesia turun sebesar 4 persen, sedangkan pada energi fosil meningkat sebesar 2,4 persen.
Alexandra juga menjelaskan ada empat faktor utama penyebab tingginya biaya penggunaan EBT di negara berkembang.
Pertama,kurangnya infrastruktur yang dibutuhkan untuk membangun situs pembangkit listrik berbasis EBT.
Kedua, mahalnya biaya penyediaan teknologi yang dibutuhkan jika dibandingkan dengan negara-negara maju.
Ketiga, keterbatasan instrumen keuangan yang dirancang khusus untuk mengatasi berbagai risiko dari pengembangan EBT.
Keempat, tingginya biaya transaksi untuk membiayai pembangkit listrik yang skalanya cenderung kecil.
Lebih lanjut, Alexandra juga menjelaskan kendala dalam rendahnya penggunaan EBT di negara berkembang dapat diatasi dengan kombinasi antara instrumen kebijakan dan instrumen keuangan. Kedua instrumen bisa saling menopang satu sama lain.
Dalam instrumen kebijakan, stakeholders terkait bisa membuat kerangka peraturan, roadmap dekabornisasi, dan kebijakan terkait carbon tax, trade, and pricing. Di sisi lain, institusi finansial dapat menyediakan instrumen keuangan yang mencakup solusi keuangan berkelanjutan, seperti sustainability-linked loans, sustainability bonds, green bonds, dan lain-lain.
Bank Mandiri telah memiliki pendekatan strategi yang berfokus pada klien, menuju transisi ekonomi rendah karbon. Misalnya, kerja sama dengan institusi keuangan global, membentuk ESG Desk, serta berkolaborasi dengan pemerintah untuk terkait praktik bisnis berkelanjutan.
“Kami melihat kombinasi antara kebijakan dan instrumen keuangan akan menjadi kunci yang memungkinkan lembaga keuangan bisa memainkan peran penting dalam proyek transisi energi,” kata Alexandra.
Bank Mandiri terus menunjukkan komitmennya dalam mendukung pembiayaan berkelanjutan, yang mencapai Rp285 triliun dengan pertumbuhan tahunan sebesar 12,8 persen. Hingga September 2024, Bank Mandiri telah menyalurkan pembiayaan senilai Rp10 triliun secara khusus untuk sektor energi terbarukan.
“Kami ingin mengajak para pemangku kepentingan, mitra, dan komunitas global untuk bekerja bersama Bank Mandiri, dan menjadi sustainability champion. Untuk mengoptimalkan potensi investasi energi terbarukan di Indonesia, kita perlu mengatasi berbagai tantangan utama, membuka dialog mengenai skema pembiayaan yang ada dan potensi pembiayaan baru, serta mempercepat pengembangan energi terbarukan di Indonesia,” ujar Alexandra.
Liputan khusus COP 29 Azerbaijan ini didukung oleh: