Greenpeace: Penambangan Nikel Ancam Pariwisata dan Ekosistem Raja Ampat Papua

Mela Syaharani
4 Juni 2025, 13:47
penambangan nikel di raja ampat, papua
ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat/tom.
Pegiat konservasi mengamati kondisi terumbu karang di perairan Friwen, Raja Ampat, Papua Barat Daya, Jumat (7/6/2024).
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Jaringan kampanye global, Greenpeace, menemukan aktivitas pertambangan di sejumlah pulau Raja Ampat, seperti Gag, Kawe, dan Manuran. Ketiga pulau ini berkategori kecil dan seharusnya tidak boleh ditambang menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah, Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil.

Eksploitasi nikel di ketiga pulau itu telah membabat lebih dari 500 hektare hutan dan vegetasi alami khas setempat. Sejumlah dokumentasi pun menunjukkan adanya limpasan tanah yang memicu sedimentasi di pesisir, yang  berpotensi merusak karang dan ekosistem perairan Raja Ampat, Papua Barat.

Juru Kampanye Greenpeace Indonesia Rio Rompas mengatakan penambangan nikel di sana dapat memberikan dampak buruk, baik untuk lingkungan maupun pariwisata. Jumlah kunjungan wisatawan berpotensi turun karena keindahan laut dan lokasi menyelam (diving) akan terganggu.

“Lebih jauh juga akan berdampak pada mata pencaharian masyarakat lokal yang mengandalkan pariwisata dan laut  sebagai sumber penghidupan,”  kata Rio kepada Katadata.co.id, Rabu (4/6). 

Dari segi lingkungan dampak yang sudah terjadi adalah deforestasi, sedimentasi pesisir pantai, kerusakan terumbu karang, dan kekeruhan air laut di sekitarnya. 

Selain Pulau Gag, Kawe, dan Manuran, pulau kecil lain di Raja Ampat yang terancam tambang nikel ialah Pulau Batang Pele dan Manyaifun. Kedua pulau yang bersebelahan ini berjarak kurang lebih 30 kilometer dari Piaynemo, gugusan bukit karst yang gambarnya terpacak di uang pecahan Rp 100 ribu. 

Perairan Raja Ampat merupakan rumah bagi 75% spesies coral dunia dan punya lebih dari 2.500 spesies ikan. Daratannya memiliki 47 spesies mamalia dan 274 spesies burung. UNESCO juga telah menetapkan kawasan Raja Ampat sebagai global geopark.

Koordinator Jaringan Advokasi Tambang atau Jatam Melky Nahar mengatakan Pulau Gag merupakan salah satu contoh nyata dari kerusakan sistemik akibat kebijakan pertambangan yang dijalankan dalam ruang tertutup, elitis, dan berpihak pada kepentingan segelintir. 

“Sejumlah perubahan tata ruang, pelepasan kawasan konservasi hingga penerbitan izin tambang dilakukan tanpa keterlibatan masyarakat adat dan publik luas,” katanya.

Penambangan nikel di Pulau Gag telah menimbulkan tujuh dampak bagi lingkungan sekitar, meliputi:

  • Sedimentasi Laut

Menyebabkan air laut menjadi keruh akibat lumpur dari tambang. Sedimen ini telah menutupi dasar laut, merusak lamun dan karang.

  • Kematian Terumbu Karang

Karang yang tertutup lumpur dan mengalami pemutihan, lalu mengancam habitat ribuan spesies laut dan merusak daya tarik wisata.

  • Pencemaran Lingkungan

Berpotensi menyebabkan kontaminasi logam berat ke laut dan tanah, sekaligus mempengaruhi kesehatan masyarakat dan biota.

  • Kerusakan Lamun dan Mangrove

Kematian lamun akibat tertutup sedimen dan menghilangnya hutan bakau karena konversi lahan tambang.

  • Konflik Sosial dan Kehilangan Hak Adat

Penambangan berisiko menyingkirkan masyarakat adat dari wilayah kelola tradisionalnya sekaligus ancaman terhadap budaya dan nilai lokal.

  • Hancurnya Potensi Ekowisata

Keindahan laut yang rusak dapat berdampak langsung pada sektor pariwisata Raja Ampat. Hal ini juga berpotensi menyebabkan masyarakat kehilangan sumber pendapatan alternatif yang berkelanjutan.

  • Vulnerabilitas Pulau Kecil

Penambangan nikel membuat pulau kecil tidak punya ruang pemulihan. Karena kerusakan pulau kecil dampaknya bisa bersifat total dan jangka panjang.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview
Reporter: Mela Syaharani
Editor: Sorta Tobing

Cek juga data ini

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...