Sengkarut Lahan Perkebunan Sawit Riau
Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) pada 2015 lalu merupakan bencana nasional terbesar di era reformasi. Kebakaran hutan itu menguak sejumlah fakta. Di antaranya adalah sebagian kebakaran terjadi di lahan konsesi perusahaan perkebunan. Salah satu lokasi bencana adalah Riau dengan total area kebakaran hutan seluas 184 ribu hektare. Area kebakaran di provinsi tersebut merupakan terluas kelima di Indonesia.
Temuan bahwa karhutla 2015 terjadi di kawasan perusahaan tersebut berasal dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Riau yang digawangi Komisi A. Pasca bencana nasional karhutla 2015, DPRD Riau dengan dorongan lembaga swadaya masyarakat di bidang lingkungan, membentuk Panitia Khusus Monitoring Perizinan Lahan Perkebunan.
Setelah ditelisik, Pansus menemukan sengkarut pengelolaan lahan perkebunan kelapa sawit di Riau, salah satunya adalah kejanggalan perizinan perkebunan. Dari total 4,2 juta hektare luas perkebunan sawit di Riau, 1,8 juta hektare di antaranya tidak memiliki izin. Mulai dari tidak memiliki Izin Usaha Perkebunan (IUP), izin pelepasan kawasan hutan, izin usaha budidaya, juga izin Hak Guna Usaha (HGU). “Kata lainnya, perkebunan sawit itu illegal!” kata Made dengan nada suara meninggi.
Perkebunan sawit ilegal tersebut melibatkan 190 perusahaan yang tersebar di tujuh kabupaten. Di antaranya, 15 perkebunan berada di Kabupaten Rokan Hilir, 17 kebun di Bengkalis, 32 perkebunan lagi di Rokan Hulu. Lainnya, 18 perkebunan di Pelalawan, 28 di Indragiri Hulu, 21 di Indragiri Hilir, dan paling banyak di Kabupaten Kampar sejumlah 59 perkebunan.
Selain tak berizin, perusahaan-perusahaan tersebut tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Akibatnya, pemerintah daerah kehilangan potensi penerimaan pajak sebesar Rp 15 triliun setiap tahun. Dengan usia pohon perkebunan 10-20 tahun, sedikitnya Rp 150 triliun akumulasi pajak tidak disetor ke kas negara.
Nilai lingkungan dari kerusakan ekosistem kawasan hutan akibat kebakaran itu tidak bisa diabaikan. Emisi karbon terlepas karena alih fungsi lahan, unsur hara tanah yang berkurang, sampai hilangnya habitat hewan liar.
Menindaklanjuti temuan pansus tahun 2015 tersebut, setahun kemudian, WWF Indonesia melakukan analisis spasial tutupan lahan berdasarkan Keputusan MenLHK No 903 Tahun 2016. Kesimpulannya, seluas 1,4 juta hektare perkebunan sawit berada di kawasan hutan. Kemudian pada 2017, Eyes on The Forest melakukan pantauan lapangan terhadap 10 nama perusahaan yang disetorkan DPRD Riau kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Upaya Pemda
Setelah tiga tahun berlalu tanpa ada kejelasan sikap dan tindakan pemerintah daerah atas temuan Pansus Perizinan Perkebunan, Gubernur Riau Syamsuar, membentuk Satuan Tugas Penertiban Sawit Ilegal pada 12 Agustus 2019. Satgas tersebut merupakan tim gabungan tim dari pemerintah provinsi, DPRD, kepolisian, kejaksaan, TNI, pemerintah pusat dan juga perpajakan. Satgas dibagi dalam tiga tim, yaitu tim pengendali, tim operasi dan tim yustisi.
Syamsuar mengatakan, supaya tidak membuat keputusan yang gegabah, tim akan menyelidiki ulang apakah 1,8 juta hektare lahan perkebunan tersebut benar-benar ilegal. “Akan dicek siapa pemilik lahannya, berapa luasnya, berada di kawasan hutan atau tidak, termasuk langkah ke depan seperti apa,” tuturnya.
Meski belum menjelaskan secara rinci, Syamsuar mengatakan pemda dan satgas sudah membuat skema apa yang akan dilakukan apabila lahan perkebunan sawit tersebut benar-benar ilegal. “Prosesnya akan melibatkan banyak pihak. Jadi belum bisa saya ceritakan dulu skema yang sudah kami buat,” tuturnya.
Namun, Made Ali menyoroti lamanya proses verifikasi yang dilakukan satgas dan terkesan membuang waktu. Hingga November 2019, tim yang disebar ke seluruh kabupaten dan kota di Riau masih melakukan verifikasi ulang. “Proses hukumnya jadi tertunda. Sudah ada data, diproses saja secara hukum,” kata Made Ali.
Sudah ada usaha tata kelola sawit yang lebih baik yang dilakukan di Kabupaten Siak, Riau. KLHK mencabut HGU PT Mahakarya Eka Guna di Kabupaten Siak karena menyalahgunakan izin. Menurut Bupati Siak, Alfredi, perkebunan yang seharusnya ditanami sawit malah ditanami akasia. Setelah izin dicabut, perusahaan kemudian harus mengembalikan 10.000 hektare lahan yang dikelolanya ke negara. Dari lahan yang dikembalikan ke negara, 4000 hektare di antaranya menjadi Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) dan sudah dibagikan kepada masyarakat. Syamsuar mengingatkan masyarakat untuk tidak menjual tanah TORA-nya pada siapapun.
Meski sudah ada usaha yang lebih baik, masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan pemerintah, baik pusat maupun daerah. Inpres Moraotium Sawit membuka jalan supaya pemerintah memperbaiki tata kelola perkebunan sawit, khususnya evaluasi izin perkebunan sawit dan pembentukan satu peta sehingga tidak lagi terjadi tumpang tindih lahan. Yang perlu diperhatikan, verifikasi lahan harus dilakukan secara efektif dan efisien agar bisa segera diproses hukum.