Bulog Buang Beras 20 Ribu Ton, Buah dari Kebijakan Salah Hitung Impor?
Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik (Bulog) akan membuang stok beras yang mutunya berkurang sebanyak 20 ribu ton beras. Pembuangan beras tersebut mendapat sorotan karena membutuhkan dana yang tak sedikit yakni sekitar Rp 160 miliar.
Beras yang dibuang merupakan 1% dari cadangan beras pemerintah (CBP) yang menumpuk di gudang Bulog sekitar 2,3 juta ton. Cadangan beras tersebut berasal dari impor 2018 sekitar 900 ribu ton dan sisanya dari stok dalam negeri.
Dalam Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) 38 Tahun 2018, CBP memang dapat dibuang jika melampaui batas waktu simpan minimum empat bulan atau mengalami penurunan mutu. Bulog pun menunggu hasil pemeriksaan dari Badan Pengawas Obat dan Makanan atau BPOM dan rekomendasi menteri pertanian mengenai kelaikan beras.
(Baca: Buang 20 Ribu Ton Beras, Buwas Sebut Sri Mulyani Bakal Ganti Rugi)
Dari stok beras sebanyak 2,3 juta ton, sekitar 100 ribu ton tersimpan di gudang lebih dari empat bulan. Bahkan, beras yang akan dimusnahkan sebanyak 20 ribu ton beras memiliki usia simpan di atas 1 tahun.
Direktur Utama Bulog Budi Waseso alias Buwas sudah mengeluhkan gudang yang penuh dengan stok beras. Dia menuding kebijakan impor sebagai penyebab tumpukan stok beras.
Tahun lalu, pemerintah mengeluarkan kebijakan impor beras sebanyak 2 juta ton. Bulog mendapatkan tugas melaksanakan impor tersebut. Buwas menolak memenuhi merealisasikan impor dari kuota yang sudah ditetapkan. Dari total 2 juta ton, Bulog hanya mau mengimpor 1,8 juta ton.
Buwas yang menolak memenuhi kuota impor membuat hubungan dengan Kementerian Perdagangan menjadi tegang. Meski Buwas menolak, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), realisasi impor beras 2018 mencapai 2,25 juta ton dengan nilai US$ 1,03 miliar.
Angka ini paling tinggi dibanding tahun-tahun sebelumnya. Pada 2017 impor beras hanya 305,27 ribu ton dengan nilai US$ 143,64 juta dan pada 2016 sebesar 1,28 juta ton dengan nilai US$ 531,84 juta. Berikut databoks impor beras:
Guru Besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas Santosa menilai data pasokan beras yang kacau membuat kebijakan impor salah kaprah.
Dwi menjelaskan kebijakan impor beras pada 2018 sebanyak 2,2 juta ton merupakan perhitungan yang kurang matang. Dia melihat saat mengambil kebijakan impor pemerintah terburu-buru dan momen kurang tepat yakni saat menjelang musim panen.
Persoalan kurang matangnya keputusan itu dimulai dari klaim Kementerian Pertanian pada 2017 yang menyebutkan surplus produksi beras mencapai 13,03 juta ton. Perkiraan surplus tersebut dihitung dari target produksi beras 2018 sebesar 80 juta ton atau 46,5 juta ton setara beras, sementara perkiraan total konsumsi beras nasional hanya 33,47 juta ton. Sehingga Kementan menganggap tak perlu impor.
(Baca: Musim Ribut Impor Beras)
Padahal, dari laporan di wilayah Jawa-Bali pada pertengahan 2018 terjadi serangan hama wereng yang membuat produksi beras petani turun. Pasokan beras yang mengalami goncangan terlihat dari harga yang merangkak naik pada akhir 2017.
Pada Desember 2017, harga beras medium Rp 9.526 per kilogram, padahal pada Agustus Rp 8.823 per kg. Pada Februari 2018 beras medium melonjak menjadi Rp 10.215 per kg. Berikut databoks harga beras:
Melihat lonjakan harga tersebut, pemerintah pun memutuskan impor beras demi memperkuat cadangan beras nasional. Apalagi, cadangan beras Bulog pada pertengahan Januari 2018 berkisar 994 ribu ton. Padahal menurut rekomendasi FAO, dengan konsumsi sekitar 32 juta ton beras per tahun, maka iron stock Indonesia seharusnya 800 ribu-1,12 juta ton.
Namun, keputusan impor beras menuai polemik karena menjelang panen beras yang dimulai pada pertengahan Februari 2018 dan berakhir pada Maret 2018. "Beras impor masuk mendekati panen ini menunjukkan tata kelola impor yang buruk sekali," kata Dwi.
Anggota Komsi IV Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Darori mengkaitkan kebijakan kurang matang dalam impor beras tersebut sebagai sebagai biang keladi dari penumpukan beras Bulog. Darori meminta pemerintah segera mensinkronisasi data yang dimiliki beberapa kementerian atau lembaga seperti Bulog, Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, BPS, dan Bank Indonesia.
Dengan ada sinkronisasi diharapkan tak ada perbedaan data yang menjadi penyebab kekeliruan kebijakan impor. Darori menilai bila pun impor beras, sebaiknya dalam bentuk gabah kering yang kemudian diolah Bulog menjadi beras. Sebab, gabah dinilai memiliki daya tahan lebih lama hingga setahun.
Perbaikan Manajemen Kelola Beras
Selain faktor impor, Dwi menyoroti kemampuan penyaluran beras Bulog. Kinerja tahun ini dianggap kurang dibanding tahun lalu.
Pada tahun lalu, Bulog berupaya menggelar operasi pasar besar-besaran yang kemudian diketahui operasi pasar 2018 merupakan rekor penggelontoran beras terbesar sepanjang 10 tahun terakhir, yaitu mencapai 544 ribu ton.
Sementara itu, penyerapan beras dalam negeri hanya mencapai 1,5 juta ton dari target 2,7 juta ton. Hal ini terkait Harga Pembelian Pemerintah (HPP) yang kurang bersaing.
(Baca: Target Penjualan Beras Bulog 1 Juta Ton Sulit Tercapai)
Untuk tahun ini, Bulog saat ini hanya mampu menyalurkan 3-4 ribu ton dari target 15 ribu ton per hari. Hingga awal Desember, penyaluran operasi pasar, Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT), dan bencana alam mencapai 491 ribu ton. Sedangkan, penjualan komersil mencapai 215 ribu ton. Artinya, penjualan beras Bulog baru mencapai 706 ribu ton atau baru 70,6% dari target.
Direktur Operasional dan Pelayanan Publik Bulog, Tri Wahyudi Saleh, menyatakan saat ini stok beras di pasar sedang tidak membutuhkan tambahan sehingga tercermin dari harga beras yang stabil. "Di pasar sudah banyak berasnya, jadi jenuh," kata Tri.
(Baca: Target Penjualan Beras Bulog 1 Juta Ton Sulit Tercapai)
Adapun mengenai penyaluran BPNT, Bulog mendapatkan kuota penyaluran BPNT sebesar 700 ribu ton. Namun realisasinya baru mencapai 122 ribu ton. "Artinya Bulog kalah saing dengan swasta dalam memasok BPNT, ini yang harus dibenahi," kata Dwi.
Dwi menilai banyak kelebihan dari program BPNT, sehingga Bulog tak seharusnya mengeluh dengan dicabutnya program beras sejahtera (Rastra) yang distribusinya ditangani oleh Perum Bulog, dan sebagian swasta. Saat berlangsung program Rastra, Bulog memang mampu menyalurkan beras dalam jumlah besar. Pada 2016, Bulog menyalurkan hingga 2,7 juta ton beras.