Ombudsman Temukan 4 Indikasi Pelanggaran Wewenang Impor Beras
Ombudsman Republik Indonesia menemukan empat indikasi maladministrasi dalam kebijakan impor 500 ribu ton beras. Pemberian izin mpor beras dinilai sebagai bentuk penyalahgunaan kewenangan di Kementerian Perdagangan.
Anggota Ombudsman Alamsyah Saragih menyatakan, indikasi maladministrasi pertama adalah impor dilakukan melalui PT Perusahaan Perdagangan Indonesia/PPI (Persero), padahal semestinya dilakukan oleh Perum Bulog. Landasannya adalah Pasal 3 ayat (2) huruf d Perpres No. 48/2016 dan diktum ketujuh angka 3 Inpres No. 5/2015.
Menurut Alamsyah, impor beras khusus untuk memenuhi permintaan konsumen khusus juga tidak tepat, karena seharusnya dilakukan untuk memenuhi kebutuhan pasar yang lebih luas. “Situasi stok di Bulog menipis, jikapun harus impor tujuannya adalah untuk meningkatkan cadangan beras,” katanya kepada Katadata, Ahad (14/1).
Kedua, pemerintah dalam hal ini, Kementerian Perdagangan dianggap menggunakan kewenangan untuk tujuan lain. Sebab, pasal 6 huruf c Perpres No. 48/2016 mengatur Perum Bulog melakukan pemerataan stok antarwilayah sesuai kebutuhan.
“Dalam situasi current stock pas-pasan dan tak merata, tugas yang harus dioptimalkan adalah pemerataan stok, bukan impor,” kata Alamsyah.
(Baca juga: Kementan Khawatir Impor Beras Tabrak Masa Panen)
Ketiga, Ombudsman juga menyorot prosedur koordinasi yang tidak komprehensif dilakukan oleh penetapan kebijakan impor beras. Sesuai dengan diktum kedelapan Inpres No. 5/2015, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian melakukan koordinasi dan evaluasi pelaksanaan dalam pelaksanaan Inpres.
Alasannya, menurut Alamsyah, terjadi perbedaan pendapat antara Kementerian Perdagangan yang memutuskan impor dengan Kementerian Pertanian yang yakin jika produksi beras nasional cukup memenuhi kebutuhan konsumsi masyarakat. “Apakah koordinasi sudah dilakukan secara patut?” ujarnya.
(Baca juga: Pemerintah Impor Beras Lewat PPI, Mengapa Bukan Bulog?)
Terakhir, Alamsyah juga menyoroti Permendag No. 1/2018 yang dibuat begitu cepat sehingga belum tersosialisasikan juga berpotensi mengabaikan prosedur. “Berpotensi juga mengandung unsur konflik kepentingan,” kata Alamsyah.
Hal senada juga diungkapkan oleh Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas Santosa. Menurutnya, ada celah dalam regulasi yang memungkinkan impor beras khusus yang berkualitas tinggi untuk dijual dengan Harga Eceran Tertinggi (HET) beras medium.
“Adanya beras khusus yang diimpor untuk memenuhi beras umum ini berpotensi maladministrasi,” jelas Dwi. Sementara di lapangan, kebijakan ini membuka peluang praktik pengoplosan.
Penunjukkan PPI juga dipertegas menjadi bentuk pelanggaran tugas fungsi pokok Bulog. Karena PPI tidak memiliki banyak gudang dan luas jaringan seperti Bulog, perusahaan swasta yang menjadi mitranya diduga akan berperan besar dalam distribusi beras impor.