Volume Ekspor Turun, Program Hilirisasi Sawit Terus Jalan
Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) Kelapa Sawit mencatat volume ekspor sawit sepanjang tahun lalu turun 2 persen dari perolehan 2015. Namun secara nilai masih mengalami kenaikan hingga 8 persen. Hal ini disebabkan harga minyak sawit mentah (CPO) dunia yang naik dan program hilirisasi yang berjalan cukup baik.
“Volume turun itu faktor yang paling utama adalah produksi kita sendiri turun. Tapi hilirisasi sawit kita berjalan,” kata Direktur BPDP Kelapa Sawit Bayu Khrisnamurthi di Jakarta, Selasa (10/1).
Dia menyebutkan sepanjang 2016, volume ekspor CPO, PKO, dan turunannya hanya 25,7 juta ton, lebih rendah dari tahun sebelumnya sebesar 26,2 juta ton. Sementara nilai ekspornya tahun lalu mencapai US$ 17,8 miliar atau sekitar Rp 240 triliun, lebih tinggi dibandingkan 2015 yang hanya US$ 16,5 miliar atau sekitar Rp 220 triliun.
Bayu mengakui bahwa kenaikan nilai ekspor ini dikarenakan harga CPO dunia yang naik hingga 41,4 persen. Pada Januari 2016 sudah naik dari US$ 535 per ton menjadi US$ 558 per ton. Kemudian, pada Desember 2016 naik lagi menjadi US$ 789 per ton. Kenaikan ini memberi dampak positif terhadap naiknya harga tandan buah segar (TBS) kelapa sawit yang diterima petani sawit hingga 66 persen.
Namun tidak hanya harga, program hilirisasi membuat ekspor kelapa sawit tahun lalu tidak lagi bertumpu pada CPO. BPDP Sawit mencatat sekitar 75,6 persen dari total sawit yang diekspor merupakan produk hilir yang telah diolah. (Baca: Harga Naik, Ekspor CPO Kembali Kena Bea Keluar)
Bayu juga menyebutkan ekspor beberapa produk hilir sawit cukup cemerlang tahun lalu, seperti minyak goreng (RDB Palm Oil) dalam kemasan, RDB Palm Kernel Olein, dan RDB Palm Kernel Stearin. Volume ekspor tiga produk ini naik 22 persen. Adapun sepanjang 2016 ekspor produk hilir sawit mencapai 75,6 persen dari total ekspor sawit Indonesia.
Selain itu, kata Bayu, pemimpin pasar (market leader) sawit dunia, Indonesia telah berhasil meningkatkan pemanfaatan minyak sawit dalam bahan program bakar minyak (BBM). Pemanfaatan ini dilakukan dengan mencampurkan 20 persen pada setiap solar atau minyak diesel yang dikonsumsi di dalam negeri, melalui program B20.
BPDP Sawit menilai program ini telah berhasil diimplementasikan dengan memanfaatkan dana sawit. Sepanjang 2016 program ini telah mampu menyerap 2,7 juta kilo liter (KL) biodiesel dari sawit. Jumlah serapan ini lebih besar dari target yang ditetapkan pada 2016 sebesar 2,5 juta KL dan serapan biodiesel pada 2015 yang hanya 0,56 juta KL.
Serapan yang tinggi ini tidak lepas dari dana sawit yang digunakan untuk mensubsidi harga biodiesel. BPDP mencatat serapan dana sawit pada 2016 mencapai Rp 10,6 triliun untuk biodiesel. Tahun ini BPDP memproyeksikan subsidi untuk biodiesel lebih rendah dari tahun lalu. Dana sawit yang akan terpakai tahun ini kemungkinan hanya Rp 9,6 triliun.
Menurut Bayu, program B20 yang dijalankan tahun lalu telah mampu menciptakan nilai tambah industry hingga Rp 4,4 triliun dengan penghematan devisa dan pengurangan ketergantungan bahan bakar fosil sebesar US$ 1,1 miliar atau sekitar Rp 14,8 triliun. Dari sisi tenaga kerja program ini mampu menyerap sebanyak 385 ribu orang pekerja, baik di dalam perkebunan on farm maupun di luar perkebunan off farm.
(Baca: Oktober, Produksi dan Ekspor Sawit Melonjak)
Selain itu Bayu mengungkapkan ekspor cangkang dan bungkil kelapa sawit Indonesia yang digunakan untuk kebutuhan energi hijau di luar negeri juga mengalami kecenderungan peningkatan. Ekspor biomassa sawit sebesar 5 juta ton. Beberapa negara tertarik mengimpor biomassa sawit dari Indonesia karena memiliki kalori yang tinggi.
“Jepang sudah berencana membeli 40 sampai 70 juta biomassa sawit. Mereka sangat tertarik melakukan importasi biomassa sawit,” .