Terancam Diblokir, Grab dan Uber Sepakat Bentuk Badan Usaha
KATADATA – Pemerintah mendorong pemilik kendaraan yang bermitra dengan penyedia aplikasi jasa transportasi untuk membentuk badan usaha. Hal ini merupakan salah satu upaya untuk mengakhiri kisruh yang terjadi antara penyedia aplikasi pemesanan angkutan, seperti Grab dan Uber dengan angkutan umum.
Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara mengatakan hal ini merupakan hasil keputusan rapat bersama yang dilakukan di kantornya hari ini, Selasa (15/3). Rapat ini dihadiri oleh Direktur Jenderal Perhubungan darat dan Sekretaris Jenderal Kementerian Perhubungan, serta perwakilan Grab Car dan Uber.
Dalam rapat tersebut pemilik kendaraan yang bermitra dengan Grab sudah menyatakan sepakat untuk membentuk koperasi sebagai bentuk badan usahanya. Untuk menindaklanjutinya, besok Rudiantara akan berkoordinasi dengan Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Menkop UKM) A.A.G.N Puspayoga. (Baca: Kontroversi Taksi Uber di 16 Negara)
Sementara Uber belum menyatakan belum bisa memutuskan model badan hukum apa yang nantinya akan diambil agar bisnisnya tetap berjalan. "Tetapi kami akan membantu proses untuk menjadi koperasi sebagai wadah individu bisnis online," kata menteri yang akrab dipanggil Chief RA, usai rapat tersebut.
Untuk mengetahui dan mempercepat proses ijin angkutan berbasis aplikasi di Kementerian KUKM, Menkominfo berjanji akan memantau langsung proses perizinan agar dapat diselesaikan dengan rapi. Menkominfo mengatakan bahwa kepentingan dari kedua belah pihak, yakni taksi konvensional dan taksi berbasis aplikasi harus ditampung.
Selain itu, Rudiantara juga akan mewajibkan penyedia layanan aplikasinya seperti Uber dan Grab untuk mendaftarkan badan usaha secara resmi di Indonesia. Aturannya akan segera keluar bulan depan, berupa Peraturan Menteri (permen) Kominfo.
Tidak hanya penyedia aplikasi pemesanan transportasi, kewajiban ini juga berlaku bagi semua penyedia layanan data dan informasi berbasis internet atau over the top (OOT). Aturan ini diperlukan untuk mempermudah konsumen dalam hal pengaduan, perlindungan data konsumen, serta pembayaran pajak bagi negara.
Mengenai permintaan pemblokiran yang diminta oleh Kementerian Perhubungan, Rudiantara mengimbau semua pihak untuk bersabar. Karena tahapan penyelesaian masalah sudah menemui kejelasan. "Saya tidak dalam posisi blokir dan memblokir, apalagi sifat aplikasi ini netral," katanya.
Seperti kita ketahui, kemarin pengemudi angkutan umum yang tergabung dalam Paguyuban Pengemudi Angkutan Darat (PPAD) melakukan aksi unjuk rasa untuk menentang beroperasinya angkutan berbasis aplikasi. Menteri Perhubungan Ignasius Jonan pun meminta agar layanan pemasaran transportasi online seperti Grab dan juga Uber segera diblokir. Hal ini disampaikannya melalui surat bernomor AJ 206/1/1 PHB 2016 tanggal 14 Maret 2016, yang ditujukan kepada Kementerian Kominfo. Alasannya ada tiga hal yang dilanggar oleh penyedia aplikasi ini.
(Baca: Nadiem Makarim: Go-Jek Tawarkan Solusi Infrastruktur Logistik)
Dalam surat sebanyak tiga halaman itu, Jonan menjelaskan penyedia aplikasi ini melanggar ketentuan Undang-Undang (UU), Keputusan Presiden (Keppres) dan Peraturan Pemerintah (PP). Yaitu Yaitu UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang lalu lintas dan angkutan jalan; UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang ketentuan umum dan tata cara perpajakan; UU Nomor 25 tahun 2007 tentang penanaman modal; Keppres Nomor 90 Tahun 2000 tentang kantor perwakilan perusahaan asing; dan PP Nomor 82 Tahun 2012 tentang penyelenggaraan sistem dan transaksi elektronik.
Selain pelanggaran aturan, Jonan juga mengeluhkan tiga praktik bisnis yang dijalankan Uber dan Grab selama ini. Pertama, mereka bekerjasama dengan perusahaan illegal maupun perorangan. Kedua, Uber dan Grab dinilai menimbulkan keresahan serta konflik di kalangan pengusaha angkutan resmi, dan pengemudi taksi resmi. Ketiga, mereka dituding makin menyuburkan praktik angkutan liar sehingga angkutan umum tidak diminati.
Jonan beranggapan perusahaan asing tersebut berpotensi membahayakan keamanan negara karena tidak ada jaminan keamanan atas kerahasiaannya. “Seluruh dunia yang berkepentingan atau kelompok tertentu dapat membeli data tersebut,” kata Jonan. Data itu bisa dimanfaatkan secara negatif untuk mengetahui kegiatan pengguna dan bisa mendorong terjadinya tindakan kejahatan. (Ekonografik: Berebut Kue Bisnis Jasa Taksi)