Peluang Indonesia Dorong Industri Olahan Daging Sapi Lewat IA-CEPA
Indonesia memiliki peluang untuk masuk ke dalam rantai nilai pangan melalui Indonesia-Australia Comprehensive Economic Partnership Agreement (CEPA). Ratifikasi IA CEPA diharapkan mampu memperkuat keberadaan Indonesia di dalam food value chain dunia, terutama untuk olahan daging sapi.
Berdasarkan penelitian Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), industri pengolahan makanan dan minuman merupakan kontributor ekspor Indonesia terbesar kedua setelah pertambangan. Selain itu, industri pengolahan makanan menyumbang sekitar 30-40% dari total hasil produksi dan mempekerjakan sekitar 20% dari total pekerja manufaktur.
Bagaimanapun, Indonesia dan Australia saat ini merupakan pemain kecil di industri pengolahan makanan dan minuman tingkat global dengan pangsa ekspor dan impor global masing-masing di bawah 2%.
Namun, kedua negara menyimpan potensi besar karena Indonesia merupakan salah satu importir daging sapi terbesar Australia dan Australia mengimpor tepung gandum dalam jumlah besar ke Indonesia.
“Potensi ini dapat dimaksimalkan untuk sama-sama mengangkat posisi keduanya dalam Food Value Chain,” kata Associate Researcher CIPS / Ekonom Australian National University (ANU) Arianto Patunru, Rabu (14/4).
Di Indonesia, output dari sektor industri makanan didominasi oleh perusahaan besar seperti Indofood, Wings, Mayora, GarudaFood, Nestle, Heinz, Kraft, Unilever, dan Danone. Hal ini menunjukkan bahwa sektor makanan dan minuman adalah sektor yang kompleks dengan banyak pemain, mulai dari usaha mikro hingga besar.
Potensi Daging Sapi
Indonesia hanya bisa memproduksi 50% dari kebutuhan daging sapi nasional. Untuk mengisi kekosongan tersebut, Indonesia mengimpor lebih dari 50% ekspor sapi hidup Australia. Hal ini, menurut Arianto, diharapkan dapat mendorong investor Indonesia untuk berinvestasi di peternakan sapi di Australia.
Simak Databoks berikut:
Potensi lain dapat dilihat dari kandungan produk asing dalam produk olahan makanan dan minuman Indonesia dan Australia, yaitu hanya sebesar 4% dan 12%. Jumlah ini terbilang kecil kalau dibandingkan dengan Malaysia 24% dan Taiwan 35%. “Semua ini menunjukkan adanya potensi yang belum dimaksimalkan oleh kedua negara,” ujarnya.
CIPS merekomendasikan beberapa hal untuk memperkuat posisi industri pengolahan pangan Indonesia. Yang pertama, sistem perizinan yang ada perlu diganti dengan sistem persetujuan otomatis untuk perizinan impor.
Selain itu, Kementerian Pertanian perlu merevisi Pasal 7 (1) Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 2 / 2017 tentang Pemasukan Ternak Ruminansia ke dalam Wilayah Negara Republik Indonesia. Revisi yang dimaksud adalah pada kebijakan peternak 1: 5 yang menghalangi penggunaan kuota yang diperluas di IA-CEPA.
“Peraturan ini dapat menghambat pengembangan economic powerhouse di sektor daging olahan,” kata Arianto.
Konsep economic powerhouse yang menggabungkan kekuatan kedua mitra, yaitu sektor pertanian Australia dan industri makanan olahan Indonesia, untuk kemudian merambah pasaran negara lainnya.
IA‑CEPA memberikan akses preferensial ke lebih dari 99% produk pertanian Australia yang diimpor Indonesia. Dengan begitu, usaha yang menggunakan pakan biji-bijian (misalnya peternakan) dan daging sapi sebagai bahan produksi sekarang bisa mendapatkan keduanya dengan harga yang lebih rendah.
Untuk pakan, tarif akan dihilangkan untuk sejumlah 500 ribu ton di tahun pertama perjanjian dagang diterapkan dan jumlah ini akan ditingkatkan secara progresif ke lebih dari 775 ribu ton di tahun kesepuluh.
Selain itu, IA-CEPA memberikan kemudahan berupa pembebasan tarif (dari yang tadinya 5%) untuk 575 ribu ternak di tahun pertama. Volume bebas tarif ini dinaikkan 4% setiap tahun sampai mencapai 700 ribu pada tahun keenam. Untuk daging sapi beku, tarif diturunkan dari 5% menjadi 2.5% yang kemudian dihapuskan setelah tahun kelima.
“Peningkatan volume dan penurunan tarif tentu bisa berkontribusi pada turunnya harga daging sapi di Indonesia,” kata Arianto.