BUMN ID Food Setop Pengemasan Minyak Goreng karena Pasokan Seret
BUMN pangan, PT Rajawali Nusantara Indonesia atau ID Food, menghentikan proses pengemasan minyak goreng (migor) kemasan dengan merek Rania. RNI kesulitan mendapatkan pasokan minyak goreng dari produsen sejak tiga bulan terakhir.
"Kebetulan produsen (migor) kami tidak punya bahan baku, jadi mengambil dari produsen (CPO lain)," kata Direktur Komersial ID Food Frans Marganda Tambunan di Pasar Kramat Jati, Rabu (16/3).
Frans menyatakan pemasoknya kesulitan mendapatkan minyak goreng sejak pengusaha wajib memasok CPO untuk pasar domestik atau domestic market obligation (DMO). "Tapi, kami bisa mendistribusikan minyak goreng ke pedagang dengan merek-merek yang kami dapat dari principal (migor lain)," kata Frans.
RNI yang bertugas mendistribusikan minyak goreng kemasan ini memasok beberapa merek seperti Tropical, Vita, dan Frais Well. Kementerian Perdagangan mencatat empat perusahaan besar di antaranya telah memenuhi kewajiban DMO, yakni Wilmar Group (99,26 juta liter), PT Musim Mas (65,32 juta liter), PT Smart Tbk (55,18 juta liter), dan Asian Agri (48,59 juta liter).
Frans mengatakan kebijakan pemerintah yang mencabut aturan Harga Eceran Tertinggi (HET) untuk minyak goreng kemasan akan meningkatkan pasokan di pasar. RNI optimistis kebijakan ini dapat menstabilkan harga minyak goreng, dalam menghadapi Ramadan 2022.
"Saat kami penuhi pasar nanti, mekanisme pasar berjalan. Jadi, kuncinya semua stakeholder melancarkan distribusi kami ke masyarakat," kata Frans.
Pemerintah mulai hari ini mencabut ketentuan Harga Eceren Tertinggi (HET) untuk minyak goreng sawit dalam kemasan. Pemerintah juga akan merevisi aturan kewajiban pasar domestik (DPO) yang menjadi syarat ekspor minyak sawit mentah atau crude palm oil atau CPO.
Meski begitu, aturan kewajiban pasar domestik atau domestic market obligation/ DMO CPO masih berlaku yakni sebesar 30% dari total volume ekspor. Selama ini hasil DMO itu wajib dijual sesuai dengan aturan DPO, yakni CPO senilai Rp 9.300 per kilogram (Kg) dan olein senilai Rp 10.300 per Kg.
"Saat ini, yang jelas DMO 30% masih dikenakan, kemudian harga (migor curah) itu Rp 14 ribu per liter. (Aturan) ke bawahnya (seperti DPO) akan kami diskusikan," kata Kepala Badan Pangan Nasional Arief Prasetyo Adi saat pendistribusian migor curah oleh BUMN Pangan di Pasar Kramat Jati, Rabu (16/3).
Aturan DMO dan DPO ini merupakan dasar penetapan HET yang dituangkan dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 6-2022 tentang HET Minyak Goreng Sawit. Dalam aturan itu, HET minyak goreng curah senilai Rp 11.500 per liter, kemasan sederhana sebesar Rp 13.500 per liter, dan kemasan premium sebesar Rp 14.000 per liter.
Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan (Kemendag) Oke Nurwan sebelumnya mengatakan aturan DMO dibutuhkan untuk menjamin ketersediaan bahan baku migor di dalam negeri. Alasannya, industri CPO nasional belum dapat mengendalikan harga CPO internasional meski memproduksi setengah pasokan CPO dunia.
Industri CPO belum dapat menentukan harga karena konsumsi CPO domestik baru sekitar 35%. Untuk mengendalikan harga internasional, konsumsi domestik setidaknya harus mencapai 60%.
Adapun, aturan DPO dibutuhkan agar produsen migor tidak lagi dapat menjual produknya dengan harga tinggi lantaran harga bahan baku di dalam negeri telah dijamin pemerintah. Dengan adanya DMO dan DPO, industri turunan CPO juga diwajibkan untuk memasok CPO atau olein kepada industri migor domestik. Industri turunan CPO dapat membeli CPO dan olein dengan harga DMO sesuai dengan volume ekspor turunan CPO tahunan.