Peritel Ancam Setop Jual Minyak Goreng, Pengusaha Sawit Bakal Rugi
Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia atau Gapki meminta Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia atau Aprindo untuk mencabut opsi boikot penjualan minyak goreng di ritel modern. Boikot tersebut dapat berimbas terhadap keberlangsungan hidup petani kelapa sawit dan juga produsen minyak goreng.
Ketua Umum Gapki Eddy Martono mengatakan, Aprindo sebaiknya tidak melakukan ancaman kepada pemerintah untuk boikot penjualan minyak goreng di ritel. Opsi itu hanya menambah permasalahan baik di pemerintah, produsen minyak goreng, hingga petani kelapa sawit.
Menurut dia, industri hulu akan terganggu jika pengusaha ritel enggan menjual minyak goreng. Kondisi itu akan berdampak pada petani sawit karena hasil tanamnya tidak bisa diserap optimal.
"Jadi kalau hilirnya terganggu, sudah pasti kami yang sebagai hulu juga akan terganggu, kami bisa rugi karena pembelian di kebun menjadi berkurang" kata Eddy saat dihubungi Katadata.co.id, Rabu (10/5).
Namun demikian, Eddy belum bisa menyebutkan potensi kerugian yang ditanggung pelaku indusri hulu. Dia berharap, pemerintah bersama Aprindo dan stakeholder terkait lainnya dapat duduk bersama dan menyelesaikan permasalahan utang rafaksi tersebut dengan baik. Denga demikian, tidak ada pihak manapun yang dirugikan atas permasalahan tersebut.
"Saya dengar Kementerian Perdagangan akan lakukan pertemuan dengan Aprindo dan produsen minyak goreng, saya harap ini bisa menemukan titik terangnya," kata dia.
Awal Mula Pemerintah Utang Rp 344 M
Sebelumnya, Aprindo mengancam akan menghentikan penjualan minyak goreng di 48 ribu ritel yang tergabung dalam organisasinya. Hal itu disebabkan karena Kemendag terus menunggak utang rafaksi minyak goreng sebesar Rp 344 miliar kepada pelaku usaha ritel modern.
Ketua Aprindo Roy Nicholas Mandey menuturkan, Aprindo juga akan mengurangi hingga menghentikan pembelian minyak goreng dari produsen, jika Kemendag benar-benar tidak membayar utang tersebut. Dengan begitu, stok minyak goreng di ritel modern akan berkurang, dan lambat laun akan terjadi kelangkaan.
"Kami akan secara perlahan mengurangi pembelian minyak goreng, sehingga lambat laun stok minyak goreng di pasar ritel langka," kata Roy dalam konferensi pers, di Kantor Kemendag, Kamis (4/ 5).
Sebagai informasi, utang tersebut merupakan selisih pembayaran yang dijanjikan Kemendag atas kebijakan minyak goreng satu harga pada 19-31 Januari 2022. Kebijakan tersebut ditetapkan karena harga minyak goreng yang tinggi dan jauh di atas Harga Eceran Tetap atau HET.
Kebijakan minyak goreng satu harga diatur dalam Permendag 3/2022 tentang minyak goreng satu harga pada kemasan premium, sederhana, dan curah sebesar Rp 14.000 per liter. Namun, Permendag Nomor 3 Tahun 2022 itu telah dicabut dan diganti dengan Permendag Nomor 6 Tahun 2022 tentang Penetapan Harga Eceran Tertinggi Minyak Goreng Sawit.
Kemendag beralasan belum menyetujui pembayaran utang tersebut karena aturannya telah diganti sehingga dinilai tidak memiliki payung hukum.