Kemenperin Tolak Revisi Harga Gas Murah, Diprediksi Tekan Industri
Kementerian Perindustrian menolak langkah Kementerian ESDM yang merevisi regulasi penggunaan dan harga gas bumi tertentu atau HGBT di bidang industri. Regulasi tersebut akan berdampak pada industri penerima.
Revisi tersebut disahkan melalui Keputusan Menteri ESDM Nomor 91 tahun 2023. Pembaharuan regulasi distribusi gas murah industri itu berimbas pada kenaikan tarif gas murah kepada beberapa industri penerima, di antaranya sektor industri keramik dan kaca.
"Mengenai revisi itu kami tidak setuju, catat saja itu. Kami tidak setuju," kata Menteri Perindustrian, Agus Gumiwang Kartasasmita, di Gedung Nusantara I DPR Jakarta pada Senin (12/6).
Dalam Peraturan Presiden Nomor 121 Tahun 2020 tentang Penetapan Harga Gas Bumi, terdapat tujuh industri yang mendapatkan harga gas US$ 6 per MMBtu yaitu industri pupuk, petrokimia, oleokimia, baja, keramik, kaca dan sarung tangan karet.
Kementerian ESDM selanjutnya telah merevisi aturan turunan perpres tersebut dengan menerbitkan Kepmen ESDM Nomor 91 tahun 2023. Penetapan regulasi itu sekaligus mencabut ketentuan yang diatur dalam Kepmen ESDM Nomor 134 tahun 2021.
Selain mengatur regulasi tambahan, aturan teranyar itu juga mengatur penyesuaian tarif HGBT pada tiap-tiap badan usaha dan pengguna. Contohnya, tarif HGBT untuk industri keramik di wilayah Jawa Timur melalui PT Bayu Buana Gemilang.
PT Platinum Ceramics Industry dan PT Keramik Diamond Industries memperoleh HGBT menjadi US$ 7 per MMBtu pada 2023. Angka tesebut meroket menjadi US$ 7,78 per MMBtu setelah Lapangan gas MAC di Selat Madura beroperasi. Harga yang ditulis belakangan juga berlaku hingga tahun 2024.
Besaran tersebut lebih tinggi dari tarif HGBT di Kepmen ESDM Nomor 134 tahun 2021 yang berada di harga US$ 7,04 per MMBtu untuk periode pengiriman 2022 hingga 2024.
Kenaikan tarif juga terjadi pada industri kaca di wilayah Jawa Timur yaitu PT Bayu Buana Gemilang untuk PT Asahimas Flat Glass dengan tarif HGBT US$ 6,49 per MMBtu pada tahun 2023. Tarif tersebut naik menjadi US$ 7,26 per MMBtu setelah Lapangan gas MAC di Selat Madura beroperasi untuk periode 2023 sampai 2024.
Tarif anyar tersebut lebih tinggi dari HGBT di Kepmen ESDM Nomor 134 tahun 2021 yang berada di harga US$ 6,02 per MMBtu pada 2023 dan US$ 5,94 per MMBtu pada 2024.
Kendati demikian, pembaharuan regulasi penyaluran HGBT tak melulu menghasilkan kenaikan tarif. Regulasi terbaru juga menunjukan adanya tarif konstan dari ketetapan sebelumnya. Perusahaan keramik PT Arwana Anugrah konsisten mendapatkan HGBT US$ 6 per MMBtu dari pasokan gas bumi PT Pertamina Hulu Energi.
Pada Pasal 3 Peraturan Presiden atau Perpres Nomor 121 Tahun 2020 tentang Penetapan Harga Gas Bumi mengatur kementerian untuk menetapkan HGBT dengan harga paling tinggi US$ 6 per MMBtu. Namun, lanjutan pasal tersebut juga membuka potensi HGTB lebih tinggi dari US$ 6 per MMBtu untuk gas bumi yang berasal dari Liquefied Natural Gas (LNG) atau Compressed Natural Gas (CNG).
"Pokoknya kami tidak setuju revisi tarif itu, kami tetap berpegangan pada Perpres yang mengatakan bahwa harga gas untuk industri harus US$ 6, karena Perpres itu di atas Kepmen," ujar Agus.
Tekan Daya Produksi Industri
Ketua Umum Forum Industri Pengguna Gas Bumi , Yustinus Harsono Gunawan, mengatakan kenaikan tarif HGBT berpotensi menaikan biaya hingga menekan daya produksi industri. Menurut Gunawan, hal tersebut dapat berimbas pada menurunkan ekspor produk domestik sekaligus menaikan impor barang asing.
"Kenaikan HGBT sangat berpotensi memulai de-industrialisasi seperti ketika harga gas bumi pada 2014," kata Yustinus lewat pesan singkat pada Kamis (8/6).
Dia menilai revisi tarif HGBT sangat disayangkan. Insentif gas murah telah menjadi stimulus bagi industri manufaktur saat krisis ekonomi global karena dampak Pandemi Covid-19 dan konflik bersenjata Rusia-Ukraina.
Menurut Yustinus, yang juga menjabat sebagai Ketua Umum Asosiasi Kaca Lembaran dan Pengaman (AKLP), revisi HGBT berpotensi menaikkan biaya produksi produk akhir yang menggunakan produk kaca olahan dari kaca lembaran. Misalnya saja kaca pengaman untuk industri otomotif, kaca cermin hingga kaca isolasi dipakai sebagai pintu lemari pendingin tembus pandang.
"Revisi tarif HGBT pasti akan menaikkan biaya produksi kaca lembaran nasional," ujar Yustinus.
Sebelumnya, Kementerian ESDM melaporkan kehilangan penerimaan negara sebesar Rp 29,39 triliun dalam program gas murah untuk industri atau HGBT US$ 6 per MMBTU selama dua tahun terakhir.
Direktur Jenderal Migas, Tutuka Ariadji, mengatakan besaran penerimaan negara yang hilang itu terjadi akibat penyesuaian harga gas bumi setelah memperhitungkan kewajiban pemerintah kepada kontraktor kontrak kerja sama (KKKS). Pemerintah harus menanggung penurunan penerimaan negara sebesar Rp 16,46 trilun pada 2021 dan Rp 12,93 triliun pada 2022.
Kebijakan HGBT juga mewajibkan pemerintah untuk menanggung biaya selisih harga dengan mengurangi jatah keuntungan penjualan gas negara sehingga tidak membebani jatah atau keuntungan kontaktor.
"Penerimaan KKKS tidak boleh berkurang, yang dikurangi itu penerimaan negara. Misalnya harganya US$ 7 menjadi US$ 5, maka bagian negara yang dikurangi sehingga harganya US$ 5," kata Tutuka saat ditemui di Gedung Nusantara I DPR pada Selasa (11/4).