Siasat Bahlil Amankan Investasi EV dari Dampak UU Penurunan Inflasi AS
Pemerintah meyakini Undang-Undang Pengurangan Inflasi atau Inflation Reduction Act (IRA) pemerintah Amerika Serikat (AS) tidak akan mengganggu investasi ekosistem kendaraan listrik atau EV di Indonesia.
Menteri Investasi Bahlil Lahadalia mengatakan pemerintah bernegosiasi dengan pemerintah Amerika terkait hal tersebut. Selain itu, ada strategi yang disiapkan pengusaha untuk menyiasati aturan tersebut. Secara singkat, produk ekosistem EV besutan lokal tidak akan dikirim dalam bentuk jadi ke Amerika Serikat.
"Kalau produksi bahan bakunya atau bahan setengah jadinya diproduksi sekitar 60-70% di Indonesia lalu sisanya diselesaikan di Amerika Serikat enggak masalah. Disiasati saja," kata Bahlil di kantornya, Jumat (30/6).
Secara sederhana, IRA merupakan kebijakan yang membuat tingkat komponen dalam negeri atau TKDN di Negeri Paman Sam naik untuk mengurangi inflasi akibat impor. Oleh karena itu, pemerintah negeri Paman Sam mengurangi impor pada tahun ini, termasuk komponen EV.
Bahlil menilai IRA merupakan kebijakan yang diterbitkan Amerika Serikat untuk melawan hegemoni industri dari Cina. Pasalnya, pengurangan impor tersebut ditargetkan pada produk dari cina atau hasil investasi cina.
Dengan demikian, industri ekosistem EV di dalam negeri berpotensi terdampak investor dari Cina menanamkan dana pada beberapa smelter di dalam negeri. Artinya, ekspor EV maupun komponen EV ke pasar Amerika Serikat terancam.
Seperti diketahui, salah satu produsen baterai EV di dalam negeri adalah PT Industri Baterai Indonesia yang bekerja sama dengan LG Group. Bahlil mengatakan hasil produksi baterai EV besutan LG tersebut tidak akan menghadapi hambatan di Pasar Amerika Serikat.
"Enggak akan terganggu kalau LG produksinya sampai di Katoda. Itu ni problem karena hilirisasi pembuatan baterai EV-nya di Amerika Serikat," kata Bahlil.
Bahlil menyampaikan strategi yang sama akan digunakan untuk masuk ke pasar Eropa. Walau demikian, Bahlil menyebutkan strategi utama yang akan diterapkan pemerintah adalah mengajak investor asal Eropa dan Amerika Serikat untuk mendirikan pabriknya di dalam negeri.
Untuk diketahui, aturan Uni Eropa yang mungkin menghambat produk EV dari Indonesia adalah Direktif Pelaporan CSR. Intinya, kebijakan tersebut mengenalkan beberapa persyaratan baru soal pelaporan Lingkungan, Sosial, dan Tata Kelola atau ESG.
"Kalau Eropa masih ragu dengan ESG di Indonesia, masuk ke pasar Indonesia. Makanya Eramet melakukan itu. Jangan mau banyak tapi tidak mau masuk," kata Bahlil.