Debat Baterai LFP vs Nikel, Stafsus Menteri ESDM: Sesuai Kebutuhan

Mela Syaharani
26 Januari 2024, 15:54
baterai kendaraan listrik, lfp, nikel
ANTARA FOTO/Syaiful Arif/tom.
Pemilik mobil listrik melakukan pengisian daya di Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Ultra Fast Charging (SPKLU) di rest area teras melati ruas tol Jombang-Mojokerto (Jomo) KM 695A Kedungmlati, Kabupaten Jombang, Jawa Timur, Jumat (22/12/2023).
Button AI SummarizeBuat ringkasan dengan AI

Akhir-akhir ini isu baterai kendaraan listrik berjenis lithium ferrophosphate (LFP) ramai diperbincangkan usai disinggung calon wakil presiden (cawapres) nomor urut 2 Gibran Rakabuming Raka dalam debat cawapres beberapa waktu lalu.

Gibran menilai kubu Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar dan tim suksesnya gencar mempromosikan baterai LFP untuk kendaraan listrik karena banyak digunakan produsen-produsen mobil listrik dunia, seperti Tesla. Padahal Indonesia memiliki sumber daya nikel yang melimpah.

Hal ini memicu perdebatan bahwa baterai kendaraan listrik berbasis nikel mulai ditinggalkan, yang akan menjadi berita buruk bagi Indonesia yang tengah gencar mendorong hilirisasi nikel untuk baterai kendaraan listrik.

Staf Khusus Menteri ESDM Bidang Percepatan Pengembangann Industri Sektor ESDM, Agus Tjahajana Wirakusumah mengatakan nilai ekonomis baterai kendaraan listrik antara LFP dengan baterai Nickel-Manganese-Cobalt (NMC) bergantung pada kebutuhan pengguna.

“Kendaraan high end pakai NMC, kalau low end pakai LFP. Karena kalau high end kan mahal, jadi baterai tidak ada artinya. Untuk apa pakai baterai LFP yang kemampuan jaraknya pendek dan secara volume lebih berat,” ujarnya saat ditemui di kantor Kementerian ESDM pada Jumat (26/1).

Selain dari segi volume, Agus juga mengatakan bahwa LFP memiliki kekurangan dari segi densitas energi yang lebih rendah. “Jadi kalau densitas nikel itu skala 10, LFP itu densitasnya hanya 5,” ujarnya.

Agus menjelaskan, untuk mendapatkan jarak tempuh yang sama seperti nikel maka harus ada penambahan kuantitas untuk LFP. “Untuk jarak motor deh, motor itu sekitar 10-12 kg yang NMC, kalau pakai LFP bisa 16 kg baterainya,” ucapnya.

Sehingga menurut Agus penggunaan baterai LFP untuk kendaraan mahal dinilai kurang sesuai. “Kalau pakai mobil yang mahal abis beratnya sama baterai ya tidak cocok. Kalau barang mahal ya pakai baterai mahal aja, yang enteng jaraknya bisa jauh,” ujar Agus.

Agus kembali menekankan bahwa baterai LFP ini lebih cocok digunakan oleh kendaraan low-end. “Selain itu LFP juga bagus untuk kendaraan yang truk, bus. Sebab dia tidak tergantung dengan berat,” kata dia.

Meski dari segi volume dan kemampuan tidak dapat menyaingi NMC, namun Agus menyebut baterai LFP memiliki umur yang lebih panjang. “LFP lebih bagus, karena dia panasnya lebih rendah, dan kemampuan sedot dayanya lebih rendah. Kalo panas lebih tinggi itu umurnya agak pendek,” ujar dia.

Kendati demikian Agus menyebut berbagai pihak sedang berusaha untuk memperbaiki kualitas dari LFP. “Sedang dicoba supaya umur lebih panjang, jarang tempuh lebih panjang. Ini menjadi tantangan teknologi,” ucap dia.

Sebagai informasi, Produsen terbesar baterai berteknologi ini yaitu perusahaan Cina, di antaranya Contemporary Amperex Technology Co., Limited (CATL), China Aviation Lithium Battery Co., Ltd (CALB), dan Lishen Battery. Produsen mobil listrik Build Your Dream (BYD), juga mengembangkan LFP meski hanya untuk aplikasi stasioner.

Selain itu ada pula LG Energy Solution yang berbasis di Korea Selatan, dan POSCO Future M Co Ltd dan EcoPro Co yang menargetkan akan memproduksi LFP pada 2025. Korea Selatan tak main-main mengejar Cina yang saat ini menguasai pasar LFP global.

Reporter: Mela Syaharani

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...