Pemerintah Temukan Indikasi Perbudakan Awak Kapal di Maluku
Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono menemukan indikasi praktek perbudakan di wilayah laut nasional. Praktek tersebut terindikasi dilakukan di Kabupaten Kepulauan Aru, Maluku.
Trenggono menjelaskan, indikasi perubahan tersebut ditengarai dari ditemukannya setidaknya 10 mayat per bulan Kota Dobo, Pulau Wamar. Trenggono menyampaikan, 10 mayat yang ditemukan di Dobo merupakan Anak Buah Kapal dari kapal penangkap cumi.
"Dari informasi yang saya dapatkan, perbudakan di atas kapal yang berlayar di dalam negeri masih berlangsung. Tidak hanya di atas kapal asing, tapi juga di atas kapal-kapal kita," kata Trenggono dalam rapat kerja bersama Komisi IV DPR, Selasa (11/6).
Trenggono menyampaikan, perbudakan tersebut disimpulkan berasal dari praktek transhipment produk ikan di dalam negeri. ABK kapal transhipment kerap melarikan diri saat berlabuh di Kota Dobo.
Oleh karena itu, Trenggono mengaku telah meminta Kepolisian Daerah Maluku untuk mengusut indikasi tersebut. Pada saat yang sama, pemerintah kini mengevaluasi kebijakan terkait praktek transhipment produk ikan di dalam negeri.
"Kebijakan-kebijakannya musti kami evaluasi supaya tidak terjadi lagi praktek perbudakan seperti itu," katanya.
Trenggono menyampaikan, salah satu upaya pemerintah memberantas praktek perbudakan adalah penangkapan kapal ikan Run Zheng 03 pada 14 April 2024. Kapal tersebut diduga melakukan penangkapan ikan ilegal, penggunaan bahan bakar ilegal, perdagangan orang, dan perbudakan.
Yayasan non-profit asal Australia Walk Free Foundation pada 2020 membuat daftar 20 negara perikanan berdasarkan resikonya terhadap perbudakan modern. Ke-20 negara ini mewakili 80% dari tangkapan ikan dunia.
Yayasan tersebut menempatkan Tiongkok, Jepang, Rusia, Spanyol, Korea Selatan, Taiwan, dan Thailand dalam kategori high risk alias berisiko tinggi. Ini lantaran tingginya proporsi tangkapan yang diambil dari luar perairan mereka dibandingkan dengan rata-rata negara perikanan lainnya. Selain itu, besarnya tangkapan yang tidak dilaporkan dan tingginya aktivitas perikanan yang merusak.
Adapun Indonesia, India, Malaysia, Chile, Meksiko, Maroko, Peru, Vietnam, dan Filipina masuk dalam kategori medium risk atau risiko menengah. Negara-negara ini cenderung menangkap ikan di perairannya sendiri, memiliki level yang rendah dalam hal penangkapan yang merusak dan nilai tangkapan, rendahnya produk domestik bruto, dan tingginya tangkapan yang tidak dilaporkan.
Organisasi Perburuhan Internasional atau ILO mengestimasi, 21 juta orang terjebak dalam kerja paksa, termasuk di kapal-kapal penangkapan ikan. Estimasi Itu dibuat ILO sekitar tujuh tahun lalu atau pada 2013.
Mengutip laporan ILO bertajuk “Caught at Sea, Forced Labour and Trafficking in Fisheries” yang dirilis pada 2013, fenomena ini berkembang sebagai buntut dari permintaan ikan yang terus menanjak. Sementara itu, stok ikan terus turun imbas penangkapan ikan besar-besaran dan maraknya penangkapan ikan secara ilegal.
ILO menyatakan, kompetisi ketat kerap membuat keselamatan para nelayan dikesampingkan. Sedangkan operasi penangkapan ikan transnasional yang semakin canggih dan terorganisir membuat nelayan yang terjebak berada dalam posisi lemah.