Ekspansi Pabrik, Pupuk Indonesia Butuh 1 BSCFD Gas Bumi pada 2030
Ringkasan
- PT Pupuk Indonesia memproyeksikan kebutuhan gas bumi akan meningkat dari 820 MMSCFD pada 2024 menjadi 1 BSCFD pada 2030, dikarenakan ekspansi dan pengembangan produksi pabrik, termasuk membangun pabrik baru di berbagai lokasi seperti Pusri, Bontang, Gresik, Fakfak, Aceh, dan Kujang.
- Kenaikan kebutuhan gas bumi ini merupakan bagian dari rencana untuk menggantikan pabrik-pabrik tua dan meningkatkan produksi pupuk amonia dan urea serta pupuk lainnya, yang memiliki peran penting dalam kontribusi terhadap produktivitas pangan dimana pupuk berkontribusi sebesar 62% terhadap produktivitas pangan dan biaya pertanian padi.
- Pemerintah melalui Kementerian ESDM telah menegaskan komitmennya untuk menjamin ketersediaan gas bumi untuk industri pupuk hingga tahun 2030, termasuk melalui kebijakan harga gas bumi tertentu (HGBT), mengingat pentingnya industri pupuk dalam mendukung sektor pertanian dan karena tantangan geografis Indonesia dalam distribusi gas.
PT Pupuk Indonesia (Persero) memproyeksikan kebutuhan gas bumi perusahaan pada 2030 mencapai 1 miliar standar kaki kubik per hari (BSCFD). Jumlah tersebut naik dari 820 juta kaki kubik per hari (MMSCFD) pada 2024.
Direktur Portofolio dan Pengembangan Usaha Pupuk Indonesia Jamsaton Nababan mengatakan kenaikan kebutuhan gas tersebut untuk ekspansi pengembangan produksi atau pabrik.
"Dari Pupuk Indonesia ini akan mengalami kenaikan kebutuhan gas karena memang ada pengembangan produksi atau pabrik. Pada 2030 kami membutuhkan gas hampir 1 miliar kaki kubik per hari (BSCFD). Jadi cukup signifikan kenaikannya,” ujarnya di Jakarta, Selasa (16/7).
Menurut dia, kenaikan kebutuhan gas tersebut dikarenakan Pupuk Indonesia melakukan ekspansi untuk pengembangan pabrik dan kemudian melakukan penggantian pabrik-pabrik tua.
Salah satunya Pupuk Indonesia sedang membangun proyek pabrik Pusri yang akan memproduksi pupuk amonia dan urea, kemudian juga pabrik soda ash di Bontang dan Gresik.
Proyek-proyek pabrik tersebut ditargetkan beroperasi pada 2027. Dengan demikian, kondisinya pada tahun 2027 di mana pada awalnya Pupuk Indonesia membutuhkan gas 820 MMSCFD menjadi 850 MMSCFD.
“Kemudian pada 2029, kami akan menyelesaikan satu pabrik di Papua yang ada di Fakfak, kebutuhan gasnya naik dari 850 MMSCFD menjadi 951 MMSCFD,” ujarnya.
Pada 2030, Pupuk Indonesia membangun lagi satu pabrik pupuk di Aceh, kemudian satu pabrik pupuk di Kujang dan pabrik metahnol di Aceh atau di Bontang. Sehingga kebutuhan gas pada 2030 menjadi 1 BSCFD.
Dari sisi input pertanian, pupuk berkontribusi sebesar 62% terhadap produktivitas pangan dan 23% terhadap struktur biaya pertanian padi.
Jamsaton menjelaskan bahwa pemicu terbesar terhadap harga pupuk adalah gas alam yang menjadi salah satu bahan baku utama dalam pembuatan pupuk. Gas alam menyumbang 71% terhadap harga pokok produksi (HPP) pupuk urea dan 5% terhadap HPP pupuk NPK.
“Kami mengapresiasi keputusan pemerintah melanjutkan kebijakan harga gas bumi tertentu (HGBT) untuk pupuk serta komitmen pemerintah, dalam hal ini Kementerian ESDM yang dapat menjamin pasokan gas lama untuk industri pupuk,” katanya.
Pada kesempatan sama, Direktur Pembinaan Program Minyak dan Gas Bumi Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM Mirza Mahendra menyampaikan bahwa Kementerian ESDM menjamin ketersediaan gas dalam negeri untuk industri pupuk sampai tahun 2030.
“Kementerian ESDM menjamin ketersediaan gas dalam negeri untuk industri pupuk sampai 2030, sementara harga akan ditentukan kemudian oleh pemerintah. Saat ini pemerintah telah meneruskan kebijakan harga gas bumi tertentu (HGBT) untuk pupuk, dan beberapa industri lainnya,” ujarnya.
Dia menjelaskan bahwa industri pupuk menjadi salah satu prioritas alokasi gas bumi dengan alasan multiplier effect atau efek pengganda yang sangat luas pada sektor pangan secara keseluruhan.
Adapun tantangan yang masih dihadapi oleh pemerintah adalah distribusi gas yang sumbernya berada relatif jauh dari area industri yang mengonsumsi gas, belum lagi bentuk geografis Indonesia yang merupakan kepulauan sehingga penyaluran gas ke konsumen dalam negeri menjadi lebih kompleks.