Menilik PR di Balik Keputusan Prabowo Tanggung Operasional Whoosh dengan APBN
Pemerintah berencana menyalurkan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) untuk menanggung sebagian biaya operasional Kereta Cepat Whoosh melalui skema public service obligation (PSO). Kebijakan yang dikeluarkan di tengah penyelesaian utang Whoosh ini berisiko menimbukan pekerjaan rumah (PR) baru bagi pemerintah.
Menanggapi hal itu, Kepala Center of Industry, Trade, and Investment Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Andry Satrio Nugroho mengatakan keputusan PSO ini diambil pemerintah dengan harapan banyak masyarakat bisa terdorong menggunakan Whoosh untuk ke Bandung. Dengan adanya kebijakan PSO, tarif Whoosh bisa ditekan jauh lebih rendah.
“Sehingga keuntungan yang didapatkan Whoosh bisa digunakan untuk membayar utang dan operasional lainnya,” kata Andry saat dihubungi Katadata, Kamis (6/11).
Kebijakan PSO sudah diterapkan pemerintah ke sejumlah transportasi publik seperti kereta rel listrik (KRL) Jabodetabek, sejumlah kereta api ekonomi, angkutan laut perintis, dan angkutan udara perintis. Kebijakan ini diterapkan oleh pemerintah untuk menjamin akses transportasi yang terjangkau bagi masyarakat, terutama di wilayah yang secara komersial kurang menarik bagi operator.
Kendati demikian, Andry mengatakan pemberian skema PSO kepada Whoosh dinilai kurang tepat. Pasalnya proyek Whoosh sejak awal ditetapkan sebagai business to business antara PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC), sebuah perusahaan patungan yang dibentuk oleh PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI), dan konsorsium perusahaan perkeretaapian Cina, melalui Beijing Yawan HSR Co. Ltd.
Komposisi pemegang saham PSBI yaitu PT Kereta Api Indonesia (Persero) 58,53%, PT Wijaya Karya (Persero) Tbk 33,36%, PT Perkebunan Nusantara I 1,03%, dan PT Jasa Marga (Persero) Tbk 7,08%. Adapun komposisi pemegang saham Beijing Yawan HSR Co. Ltd yaitu CREC 42,88%, Sinohydro 30%, CRRC 12%, CRSC 10,12%, dan CRIC 5%.
Dia mengingatkan, pemerintah harus memperhatikan awal perjanjian proyek Whoosh sebelum menggunakan APBN untuk membantu mengatasi utang.
“Walaupun akhirnya negara turun tangan dalam penyelesaian utang Whoosh, ini akan menjadi preseden yang tidak baik. Mengapa tidak sekalian dari awal proyeknya bersifat goverment to goverment? Selama ini yang saya ketahui proyek kereta cepat memang banyak menggunakan skema G2G karena membutuhkan biaya yang cukup besar,” ucapnya.
Dia menyebut kejelasan awal kerja sama diperlukan agar seluruh aspek pemerintah mulai dari Kementerian Keuangan dan Danantara memiliki paham yang sama. Dengan demikian, bentuk kerja sama, pihak penanggung jawab, dan mekanisme pembayaran utangnya bisa lebih jelas.
“Jangan sampai seperti kemarin, Kementerian Keuangan tidak mau menalangi utang karena BUMN berada di bawah Danantara bukan lagi di bawah Kementerian Keuangan,” katanya.
Berbicara dampak, menurutnya keputusan PSO ini juga akan berpengaruh bagi APBN Indonesia. Sebab, mau tidak mau negara harus menyediakan suntikan dana kepada KAI.
“Kalau mekanismenya PSO saya agak khawatirnya, pasti APBN akan menyuntik Whoosh untuk subsidi,” kata dia.
Keberadaan Whoosh Bisa Mematikan Moda Transpotasi Lain
Andry menyampaikan jika pemerintah ingin mendorong lebih banyak masyarakat menggunakan kereta cepat, hal ini tidak boleh memengaruhi keberlangsungan moda transportasi lainnya. Pemerintah harus menjaga adanya persaingan sehat antara Whoosh dengan kereta jarak jauh, seperti kereta Parahyangan, ataupun travel, dan bus.
“Jangan sampai dorongan penggunaan Whoosh menyebabkan kondisi kanibal yang mematikan usaha atau jasa transportasi menuju Bandung yang sudah berkembang sebelum adanya Whoosh,” ujarnya.
Tantangan untuk memperbanyak penggunaan Whoosh juga terletak dari status Bandung, kota ini harus diposisikan sebagai wilayah penyangga Jakarta. Tanpa status tersebut menurutnya sulit untuk mendorong masyarakat.
“Karena frekuensi mobilitas kedua wilayah ini bergantung pada kebutuhan. Bandung harus dikembangkan sebagai tempat tinggal orang-orang yang bekerja di Jakarta. Ini satu-satunya cara agar frekuensi Whoosh semakin besar,” katanya.
Tanpa perlakuan tersebut, maka potensi peningkatan frekuensi penggunaan Whoosh akan sulit terwujud. Mengingat Bandung pada dasarnya bukan kota bisnis, berbeda dengan Jakarta dan Surabaya.
“Bandung saat ini lebih menonjol dari sisi pariwisatanya, jadi harus didorong sebagai kota penyangga Jakarta,” katanya.
