Para Peneliti Berpacu dengan Waktu Ciptakan Vaksin Virus Corona
Wabah virus corona telah menginfeksi sekitar 6.000 orang dan menewaskan lebih dari 130 jiwa di Tiongkok. Para peneliti dari berbagai negara harus berpacu dengan waktu untuk menciptakan vaksin yang dapat memerangi virus berkode nCov-2019 tersebut.
Kamis (23/1) lalu, Koalisi Inisiatif Kesiapan Epidemi (CEPI) di Tiongkok mengumumkan inisiasi tiga program untuk mengembangkan vaksin terhadap virus corona baru atau nCoV-2019. Program-program ini memanfaatkan platform respons cepat yang didukung oleh CEPI dan kemitraan baru. Tujuannya, untuk memajukan kandidat vaksin nCoV-2019 ke dalam pengujian klinis secepat mungkin.
Upaya pengembangan vaksin nCoV-2019 akan dibangun berdasarkan kemitraan yang sudah ada dengan Inovio dan The University of Queensland yang berlokasi di Brisbane, Australia. Selain itu, CEPI juga mengumumkan kemitraan baru dengan Moderna, Inc dan Institut Nasional Alergi dan Penyakit Menular Amerika Serikat (AS).
Seperti dilansir New York Times, masing-masing perusahaan memiliki metode tersendiri untuk mengembangkan vaksin mereka. Inovio, yang juga mengembangkan vaksin untuk MERS, menggunakan teknologi berbasis DNA. Johnson & Johnson memberikan vaksin melalui adenovirus, yang dapat menyebabkan gejala seperti pilek tetapi tidak berbahaya. Selain itu, para peneliti di Universitas Queensland menguji partikel yang meniru struktur virus.
“Kami tidak tahu pendekatan vaksin mana yang akan berhasil pada tahap ini. Kami harus mencoba segala kemungkinan dengan seluruh kemampuan kami,” kata Gregory Poland, pakar vaksin di Mayo Clinic di Rochester, Minnesota, Selasa (28/1).
(Baca: Korban Meninggal Virus Corona di Tiongkok Bertambah jadi 132 Orang)
Berawal dari DNA Virus Corona
Pada awal Januari lalu ketika penyakit pneumonia merebak di Wuhan, Wakil Direktur Pusat Penelitian Vaksin di Institut Kesehatan Nasional (NIH) Barney Graham mendesak para ilmuwan dan pemerintah Tiongkok untuk berbagi susunan genetik virus. Hal ini akan memungkinkan timnya memulai uji coba untuk mengembangkan vaksin.
Setelah informasi tersebut disebarkan oleh Tiongkok pada basis data publik, dalam beberapa jam saja Graham dan timnya telah menunjuk dengan tepat huruf-huruf kode genetik yang dapat digunakan untuk membuat vaksin.
Sementara itu, Direktur Institut Nasional Alergi dan Penyakit Menular di NIH, Anthony Fauci, mengatakan ia mengharapkan penelitian vaksin dapat dilakukan dengan cepat. “Jika tidak mengalami hambatan yang tidak terduga, kita bisa menjalankan uji coba fase 1 dalam tiga bulan ke depan, ini akan menjadi rekor tercepat,” katanya seperti dikutip New York Times.
(Baca: TNI AU Siapkan Tiga Pesawat untuk Evakuasi WNI yang Terjebak di Wuhan)
Uji Coba Perlu Waktu
Selaras dengan hal tersebut, ilmuwan Hong Kong juga mengerjakan vaksin dan mengisolasi virus jenis baru itu. “Kami sudah memproduksi vaksin, tetapi akan membutuhkan waktu lama untuk mengujinya pada hewan,” kata Yuen, pimpinan Unit Penyakit Menular di Universitas Hong Kong, seperti dikutip South China Morning Post.
Seperti diberitakan Market Watch, setidaknya ada tiga cara untuk mengobati virus, yaitu mengembangkan vaksin, diagnostik, serta terapi. Secara historis, vaksin telah menjadi salah satu solusi terbesar untuk mencegah penyakit di masyarakat. Namun, terlepas dari perkembangan teknologi yang membantu peneliti bergerak lebih cepat, pengembangan vaksin tetap membutuhkan proses yang mahal dan berisiko.
(Baca: Jepang Ingatkan Risiko Ekonomi Negaranya Akibat Virus Corona )
Butuh waktu berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun karena vaksin harus menjalani pengujian ekstensif pada hewan dan manusia. Pengembangan vaksin untuk virus Zika pada 2015 misalnya, peneliti membutuhkan waktu hingga enam bulan.
“Vaksin mungkin tidak membantu pada tahap awal tersebarnya virus, tetapi jika kita dapat mengembangkan vaksin tepat waktu, nantinya mereka akan menjadi aset,” kata Kepala Eksekutif CEPI, Richard Hatchett, seperti dikutip New York Times.
Penulis : Destya Galuh Ramadhani (Magang)