Belt and Road Initiative, Menghidupkan Kembali Kejayaan Jalur Sutra

Hari Widowati
29 April 2019, 11:32
Sebuah layar media center memperlihatkan Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad memberikan pidato dalam upacara pembukaan Belt and Road Forum kedua, di samping replika roket seri Long March China di Beijing, China, Jumat (26/4/2019).
ANTARA FOTO/REUTERS/JASON LEE
Sebuah layar media center memperlihatkan Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad memberikan pidato dalam pembukaan Belt and Road Forum kedua, di samping replika roket seri Long March China di Beijing, Jumat (26/4/2019).

Tudingan Neokolonialisme hingga Jebakan Utang

Meski begitu, BRI tidak lepas dari kontroversi. Salah satunya soal tudingan neokolonialisme. Pada 2018, Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad membatalkan proyek-proyek yang didanai oleh Tiongkok. Ia juga memperingatkan akan versi baru dari neokolonialisme. Namun, dalam wawancara dengan BBC Hardtalk, Mahathir mengonfirmasi bahwa yang dimaksud dengan neokolonialisme bukanlah BRI.

Mahathir menyatakan dukungannya pada program BRI di pembukaan The Second Belt and Road Forum for International Cooperation di Beijing, Tiongkok, Jumat (26/4). "Saya yakin, Malaysia akan mendapatkan manfaat dari proyek ini," kata Mahathir dalam pidatonya, seperti dikutip South China Morning Post.

Pernyataan itu disampaikannya setelah bulan lalu Tiongkok setuju memangkas biaya proyek East Coast Rail Link sebesar 30%. Jalur kereta cepat yang akan menghubungkan perbatasan Malaysia dengan Thailand itu sebelumnya diperkirakan menelan investasi US$ 20 miliar.

China Belt and Road Forum 2019
China Belt and Road Forum 2019 (ANTARA FOTO/REUTERS/JASON LEE)

Beberapa negara Barat pun menuduh BRI sebagai upaya neokolonial karena praktik diplomasi jebakan utang (debt trap diplomacy) yang digunakan Tiongkok untuk mendanai proyek-proyek infrastruktur. Guru Besar East China Normal University (ECNU), Jean Marc F Blanchard, dalam artikelnya di The Diplomat membantah tudingan ini. Menurutnya, para kritikus terlalu membesar-besarkan dampak negatif BRI karena mereka belum memahami besarnya manfaat BRI bagi negara-negara yang terlibat di dalamnya.

Pada pertemuan ke-39 Dewan Hak Asasi Manusia di Jenewa, Swiss medio September 2018, India menyatakan keberatan terhadap BRI. Pasalnya, Koridor Ekonomi Tiongkok-Pakistan dinilai mengabaikan kedaulatan dan integritas wilayah India.

Survei Institute of Southeast Asian Studies (ISEAS) pada Januari lalu juga menunjukkan kekhawatiran terhadap makin besarnya pengaruh Tiongkok dan program BRI. Survei yang melibatkan 1.008 responden dari sepuluh negara Asean ini menunjukkan 73% responden menilai Tiongkok punya pengaruh ekonomi terbesar di Asean. Bahkan, lebih kuat dibandingkan dengan pengaruh AS di kawasan tersebut.

Akan tetapi, mayoritas responden juga khawatir terhadap ambisi geostrategis Tiongkok. Sebanyak 70% responden menilai pemerintah di negaranya harus berhati-hati dalam negosiasi proyek-proyek infrastruktur BRI. Responden dari Malaysia, Filipina, dan Thailand, sebagaimana dikutip Reuters, menilai hal ini penting agar pemerintah tidak terjerat utang.

Menteri Luar Negeri Tiongkok Wang Yi mengatakan, BRI bukan alat geopolitik tetapi suatu platform kerja sama yang terbuka. "Kami menyambut siapapun yang ingin bergabung di dalamnya," kata Yi, seperti dikutip The Guardian, pekan lalu.

(Baca: Hong Kong Jajaki Investasi Infrastruktur Proyek BRI di Indonesia)

Manfaat BRI bagi Indonesia

Pada periode 2014-2016, volume perdagangan antara Tiongkok dengan negara-negara di sekitar proyek BRI melampaui US$ 3 triliun. Inisiatif ini juga menciptakan lapangan pekerjaan bagi 180 ribu penduduk di negara-negara yang terlibat.

Lantas apa manfaat BRI bagi Indonesia? Indonesia tidak lepas dari ekspansi ekonomi Tiongkok sejak BRI diluncurkan. The Diplomat mencatat ada investasi Tiongkok senilai US$ 2,3 miliar untuk 1.562 proyek di Indonesia. Angka ini melibatkan seribu perusahaan dan 25 ribu pekerja dari Tiongkok.

Pembangunan bandara di Sulawesi dan proyek kereta cepat Jakarta-Bandung hanya beberapa contoh di antaranya. Pembangunan infrastruktur ini diharapkan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi, memperbaiki konektivitas, dan menurunkan biaya logistik.

Volume perdagangan antara Tiongkok-Indonesia meningkat 23,5% menjadi US$ 72,6 miliar pada 2018. Tiongkok mengekspor barang-barang berteknologi tinggi, seperti mesin dan peralatan elektronik. Adapun Indonesia mengekspor hasil sumber daya alam, seperti batu bara dan minyak sawit mentah (CPO).

Meski nilai perdagangan kedua negara meningkat signifikan, Indonesia menghadapi defisit neraca perdagangan. Defisit perdagangan Indonesia dengan Tiongkok di sektor non-migas meningkat dari US$ 8,25 miliar pada 2013 menjadi US$ 18,98 miliar pada 2018. Angka ini jauh dibandingkan dengan defisit perdagangan Indonesia dengan Jepang yang tercatat US$ 2 miliar pada 2018.

Menurut Peneliti INDEF Muhammad Zulfikar Rachmat dan Andry Satrio Nugroho, Indonesia harus bisa memanfaatkan peluang dari kerja sama BRI. Tiongkok merupakan pasar terbesar di dunia. Alhasil, Indonesia tidak cukup hanya mengekspor bahan mentah ke negara tersebut. Pembangunan industri hilir dan ekspor barang jadi, misalnya di sektor makanan dan minuman dapat memenuhi permintaan yang tinggi di negara Xi Jinping itu.

Investasi Tiongkok di Indonesia juga harus diperluas, bukan hanya di sektor infrastruktur. Di Australia, Tiongkok juga berinvestasi di industri olahan susu (dairy) yang kemudian produknya diekspor ke Tiongkok. Selain itu, Indonesia juga harus tegas mengatur masuknya tenaga kerja asing (TKA) yang belakangan menjadi isu hangat. Hal ini diperlukan untuk memastikan pekerja domestik bisa bersaing dengan sehat dengan TKA yang masuk secara legal.

(Baca: Meluruskan Kabar tentang TKA China )

Halaman:

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...