Taliban Berkuasa, Afganistan Perlahan Kehilangan Budaya Pop
Selama 20 tahun budaya pop tumbuh subur di Afganistan. Gaya hidup seperti lagu-lagu pop yang merdu, gaya rambut kekinian, hingga sinetron Turki dan acara pencarian bakat “Afghan Star” berkembang biak dengan baik.
Namun, semuanya berubah ketika Taliban berkuasa. Masyarakat Afghanistan perlahan meninggalkan semua budaya pop, demi menyesuaikan diri dengan ideologi penguasa.
Meski Taliban berusaha mencitrakan wajah yang lebih damai kepada dunia, masyarakat Afganistan ketakutan. Mereka memilih meninggalkan budaya pop demi keamanan mereka.
"Bukannya Taliban memerintahkan kami untuk mengubah apa pun, kami telah mengubah program untuk saat ini karena kami tidak ingin Taliban memaksa kami untuk menutup (usaha kami)," kata Khalid Sediqqi, seorang produser stasiun radio di pusat kota Ghazni, dikutip dari Reuters, Selasa (31/8).
Khalid melanjutkan, masyarakat sedang syok dan justru tidak berminat mendengarkan hiburan. “Tidak ada seorang pun di negara ini yang berminat untuk hiburan, kita semua dalam keadaan syok. Saya bahkan tidak yakin apakah ada orang yang menyetel radio lagi,” kata dia.
Taliban mengklaim membolehkan kegiatan budaya yang tidak bertentangan dengan hukum syariat dan budaya Islam. Selama ini, Taliban menganggap budaya pop yang berkembang di Afganistan adalah racun, dan menghilangkannya perlahan merupakan suatu keharusan.
"Budaya kami telah menjadi racun, kami melihat pengaruh Rusia dan Amerika di mana-mana, bahkan dalam makanan yang kami makan. Itu adalah sesuatu yang harus disadari orang dan membuat perubahan yang diperlukan," kata seorang komandan Taliban.
Masyarakat Afganistan pun mulai menyesuaikan. Tak ada lagi warna-warni di salon kecantikan, semuanya berganti polos. Pemuda yang mengenakan jeans, menggantinya dengan pakaian tradisional, hingga stasiun radio mulai mengganti musik pop dengan lagu-lagu patriotik.
Musik sudah dihilangkan, program radio apa pun yang tidak berkaitan langsung dengan agama seperti berita dan budaya pun ditiadakan. "Tidak ada musik di seluruh kota Jalalabad, orang-orang ketakutan karena Taliban memukuli orang," ujar Naseem, mantan pejabat di provinsi timur Nangarhar.
Taliban telah lama menganggap musik memberikan pengaruh yang merusak. Musik dilarang ketika Taliban berkuasa pada 1996. Suasana berubah ketika sekutu mengalahkan Taliban pada 2001.
Ketika itu, tradisi musik klasik Hindustan dihidupkan kembali. Pada saat yang sama, kaum muda tertarik pada musik Barat, khususnya rock dan hip hop. “Kami telah bermain selama bertahun-tahun di Kabul dengan banyak kebebasan,” kata salah satu anggota band metal yang namanya dirahasiakan, dikutip dari abc.net.
Grup band metal ini menghapus halaman Facebook setelah menerima pesan ancaman dari seorang anggota Taliban. “Mereka bilang musik itu setan dan kami mengikuti budaya Barat. [Tapi] kami hanya mempromosikan seni dan musik [dan] kebebasan berekspresi dan kami tidak mencoba untuk merusak budaya siapa pun," kata musisi itu.
Taliban sudah menunjukkan sikap yang keras terhadap musik. Pada 2014, seorang pembom bunuh diri dari kelompok Taliban membuat ledakan di sebuah pusat budaya Prancis di Kabul selama pertunjukan orkestra. Satu orang tewas dan banyak yang terluka parah.
Di antara yang terluka dalam pemboman 2014 itu adalah Dr Ahmad Sarmast, pendiri dan direktur Institut Musik Nasional Afghanistan-Australia. Sarmast adalah seorang komposer dan pendidik musik yang terkenal secara internasional.
Ia datang ke Australia sebagai pengungsi pada tahun 1994 dan memperoleh gelar PhD dalam bidang musik dari Universitas Monash pada 2005.
Di mata Taliban, Sarmast menjadi target serangan. Taliban menganggap dia yang memperkenalkan musik kepada para pemuda di negara itu.
Penyumbang bahan: Akbar Malik