Abenomics, Warisan Shinzo Abe Selamatkan Jepang dari Jeratan Stagnasi

Tia Dwitiani Komalasari
8 Juli 2022, 18:14
Kim Kyung-Hoon/Pool Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe berbicara dalam sebuah konferensi pers tentang respon Jepang terhadap penyakit virus korona (COVID-19) di Tokyo, Jepang, Senin (25/5/2020).
ANTARA FOTO/REUTERS/Kim Kyung-Hoon/Pool/hp/cf
Kim Kyung-Hoon/Pool Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe berbicara dalam sebuah konferensi pers tentang respon Jepang terhadap penyakit virus korona (COVID-19) di Tokyo, Jepang, Senin (25/5/2020).

Mantan Perdana Menteri Jepang, Shinzo Abe, meninggal dunia setelah ditembak di Nara, Jepang, Jumat (8/7). Abe meninggalkan sejumlah kebijakan penting bagi negara Jepang, salah satunya yang dikenal sebagai Abenomics.

Dikutip dari situs resmi pemerintah Jepang, Abenomics merujuk pada paket kebijakan komprehensif yang diluncurkan Abe sejak berkuasa pada akhir 2012 hingga 2020. Tujuan dari paket kebijakan tersebut adalah menghidupkan kembali ekonomi Jepang dari deflasi selama dua dekade, sambil mempertahankan disiplin fiskal.

Apa yang Diusahakan oleh Abenomics?

Sebagai negara maju, Jepang mengalami perubahan demografis dengan menyusutnya populasi dan semakin banyaknya porsi penduduk lanjut usia. Masalah struktural penduduk ini menjadi tantangan besar bagi negara matahari tersebut yang terjerat stagnasi. 

Namun demikian, pemerintah Jepang melihat tantangan tersebut sebagai peluang. Jepang berkomitmen untuk mencapai pertumbuhan yang berkelanjutan dan menjadi pelopor dalam pembentukan model sosial baru.

“Kami menyebutnya Society 5.0, visi Jepang untuk langkah selanjutnya dalam evolusi manusia,” tulis penjelasan di situs tersebut.

Society 5.0 adalah visi yang bertujuan untuk mewujudkan masyarakat berbasis data dan berpusat pada manusia untuk generasi masa depan kita. Ini adalah visi di mana pembangunan ekonomi, digitalisasi, dan solusi untuk masalah sosial dapat selaras.

 Kebijakan ini diklaim bisa meningaktakan Pendapatan Domestik Bruto (PDB) dari US$ 4.645 triliun di 2012, menjadi US$ 5.096 triliun pada 2020.  Jumlah pengangguran dapat ditekan dari 4,3% menjadi 2,4%.

 Sementara laba sebelum pajak perusahaan mencetak rekor dari US$ 363 triliun menjadi US$ 748 triliun. Kebijakan Abe yang memberrdayakan perempuan mendorong jumlah pekerja wanita di negara tersebut ke angka tertinggi yaitu mencapai 67,2 juta orang, dari sebelumnya 62.8 juta orang.

Tiga Arah Kebijakan

Abenomics memiliki tiga arah strategi yang ditujukan untuk memulai pertumbuhan ekonomi dan upah yang lebih tinggi. Tiga kebijakan itu adalah kebijakan moneter yang longgar, stimulus fiskal, dan reformasi ekonomi struktural.

Berkat dua kebijakan pertama, Jepang menjadi negara yang memimpin tingkat suku bunga sangat rendah dan pelonggaran kuantitatif untuk infrastruktur baru serta peredaran uang tunai.

Reformasi Abenomics bertujuan untuk meningkatkan produktivitas dengan memotong birokrasi dan pajak perusahaan, serta memperluas angkatan kerja negara yang menua dengan cepat. Hal itu dilakukan dengan mendorong partisipasi lebih banyak wanita, manula, dan imigran dalam angkatan kerja.

“Kita harus melihat ke masa depan, daripada mengkhawatirkan masa kini. Jepang mungkin menua. Jepang mungkin kehilangan populasinya. Tapi, ini adalah insentif bagi kami,” kata Abe dalam pidato tahun 2016 yang menguraikan visi ekonominya seperti dikutip dari Al-Jazeera.

 Secara umum, Abe, yang mengundurkan diri untuk kedua kalinya pada tahun 2020 dengan alasan kesehatan yang buruk, hanya “setengah berhasil” dalam membalikkan ekonomi terbesar ketiga di dunia itu. Selama masa jabatannya, pertumbuhan ekonomi meningkat dari kelesuan tahun 1990-an dan 2000-an, ekspor meningkat, dan pengangguran turun ke level terendah dalam beberapa dekade.

Antara 2015 dan 2017, Jepang mencatat pertumbuhan positif delapan kuartal berturut-turut. Ini merupakan rekor terpanjang dalam hampir 30 tahun.

Namun dibandingkan dengan dekade ekspansi setelah Perang Dunia II dan kinerja banyak negara sejenis, ekonomi Jepang gagal mengesankan.

Menurut ekonom, Kaya Keiichi, pertumbuhan PDB riil Jepang rata-rata hanya 0,9 persen selama hampir delapan tahun jabatan kedua Abe sebagai perdana Menteri. Target ambisius Abe untuk meningkatkan PDB menjadi 600 triliun yen pada tahun 2020, tidak pernah terwujud dan tetap tidak terpenuhi hingga hari ini. Selain itu, inflasi dan pertumbuhan upah di bawah ekspektasi, sehingga menghambat pencapaian ekonomi yang dicapai.

Ekonom senior untuk Korea Selatan dan Jepang, Min Joo Kang , mengatakan kebijakan Abe dapat menciptakan ekosistem untuk reformasi dan inovasi oleh pelaku pasar sampai batas tertentu. Namun demikian, perbaikan ekonomi riil terbatas.

“Saya pikir itu setengah sukses karena melindungi ekonomi Jepang dari penurunan tajam,” ujarnya.

 Analis pasar senior untuk Asia Pasifik di OANDA, Jeffrey Halley, mengatakan bahwa Abenomics telah menghasilkan "hasil yang beragam". Menurut dia, kebijakan belum mencapai arah yang ketiga.

“Inflasi masih belum ada, utang pemerintah jauh lebih tinggi, dan hambatan perdagangan serta tata kelola perusahaan Jepang tetap seperti sebelumnya. Kurangnya kemajuan bukan karena Abe salah secara strategis, melainkan kegagalannya untuk mengatasi kepentingan domestik yang mengakar dan kelambanan pemerintah untuk sepenuhnya merangkul dan mengeksekusi semua arah kebijakan,” ujarnya.

Sementara itu, laporan survei Indonesia Poll 2021 yang dirilis lembaga riset asal Australia Lowy Institute pada awal 2022 menunjukkan bahwa mayoritas warga Indonesia menilai bahwa pembangunan ekonomi tanah air harus mencontoh Jepang. Menurut survei tersebut, lebih dari seperempat atau 26% responden memilih Jepang sebagai model pembangunan ekonomi Indonesia di masa depan.

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...