PM Thailand: Ekonomi Butuh Stimulus Jumbo untuk Keluar dari Krisis
Perdana Menteri Thailand Srettha Thavisin menyatakan bahwa perekonomian Thailand membutuhkan suntikan stimulus besar untuk keluar dari apa yang disebutnya sebagai "krisis". Ia mengatakan bahwa negara ini berisiko tertinggal lebih jauh di belakang para pesaingnya.
Berbicara di sebuah forum bisnis, Srettha yang juga menjabat sebagai menteri keuangan, melukiskan gambaran suram untuk ekonomi yang menurutnya bermasalah dengan utang rumah tangga yang tinggi dan upah rendah untuk orang miskin.
Ia memperjuangkan kebijakan pemberian "dompet digital" yang menjadi ciri khasnya untuk mengucurkan 500 miliar baht (US$14 miliar atau sekitar Rp 215,6 triliun) kepada 50 juta orang Thailand. Subsidi itu akan dibelanjakan dalam waktu enam bulan.
"Kita membutuhkan stimulus besar. Dompet digital akan menghasilkan lebih banyak produksi, lebih banyak pengeluaran. Kami ingin menstimulasi ekonomi akar rumput di setiap distrik," ujar Srettha seperti dikutip Reuters, pada Kamis (25/1).
Kebijakan kontroversial Srettha dan penggambaran ekonomi sebagai sebuah krisis dibantah oleh Gubernur Bank Sentral Thailand Sethaput Suthiwartnarueput dalam sebuah wawancara dengan Reuters minggu ini. Sethaput mengatakan bahwa pertumbuhan yang lebih lambat dari perkiraan bukanlah sebuah krisis dan stimulus yang cepat tidak akan mengatasi masalah-masalah struktural ekonomi.
"Suku bunga acuan Bank of Thailand saat ini secara umum netral," ujar Sethaput kepada Reuters, pada Selasa (23/1). Ia mengatakan bahwa Thailand tidak menghadapi situasi deflasi.
Sethaput juga mengatakan pemulihan ekonomi memang berjalan lebih lambat daripada yang diharapkan. "Itu tidak sama dengan krisis," ujarnya.
Sretta mengatakan pemerintah akan mendengarkan pendapatan dari semua pihak dan menjamin tidak ada korupsi dalam pemberian stimulus tersebut. Ia menambahkan bahwa upah minimum harus naik untuk membuat ekonomi lebih adil.
Kementerian Keuangan Thailand telah memangkas proyeksi pertumbuhan tahun 2024 menjadi 2,8% dari proyeksi sebelumnya sebesar 3,2% karena penurunan kunjungan turis asing dan ekspor.