Investasi Cina di Asia Naik 37%, Indonesia Penerima Terbesar
Laporan Griffith University Brisbane dan Fudan University Shanghai menunjukkan investasi Cina di kawasan Asia-Pasifik meningkat 37% menjadi hampir US$20 miliar atau sekitar Rp 312 triliun pada 2023. Sekitar 50% dari investasi Cina itu masuk ke Asia Tenggara dengan Indonesia sebagai penerima terbesar, yakni US$7,3 miliar atau sekitar Rp 113,88 triliun.
Sebagian besar dari jumlah tersebut adalah akuisisi TikTok terhadap 75% unit e-commerce milik PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk (GOTO), yakni Tokopedia, senilai US$840 juta atau Rp 13,1 triliun. Ini adalah sebagian dari upaya raksasa internet asal Cina ini untuk kembali ke e-commerce Indonesia setelah regulator memaksa TikTok untuk memisahkan fitur belanjanya dari fungsi media sosial pada bulan Oktober lalu.
Menurut Nikkei Asia, laporan ini juga mencatat sekitar US$17 miliar dari investasi tersebut merupakan kontrak konstruksi, yang sebagian dibiayai oleh pinjaman Tiongkok. Nilai kontrak konstruksi ini menandai peningkatan sekitar 14% dibandingkan dengan 2022.
Angka-angka tersebut sangat kontras dengan penurunan 12% dalam keseluruhan investasi asing langsung ke negara-negara berkembang di Asia tahun lalu. Data ini muncul pada minggu yang sama ketika pemerintah Cina menargetkan pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) sebesar sekitar 5% untuk 2024, sama dengan target tahun lalu.
Sebagian besar aktivitas di luar negeri difokuskan pada negara-negara yang selaras dengan Belt and Road Initiative (BRI) yang merupakan upaya Beijing untuk membangun jaringan infrastruktur yang membentang dari Asia ke Eropa dan seterusnya.
Menurut Christoph Nedopil, Direktur Griffith Asia Institute, investasi Tiongkok di negara-negara non-BRI anjlok ke titik terendah sepanjang masa, yaitu sebesar US$120 juta. Angka itu menunjukkan penurunan 90% dari angka yang sudah mencapai rekor terendah pada tahun 2022.
Peserta BRI juga menyumbang 92% dari kontrak konstruksi. "Tren paling menarik yang kami temukan pada tahun 2023 adalah munculnya keterlibatan investasi hijau Cina yang kuat melalui investasi energi dan pertambangan, serta keterlibatan Cina di kawasan ini yang berlawanan dengan tren yang ada, yaitu naik, bukan turun," kata Nedopil kepada Nikkei Asia.
Data tentang keterlibatan Cina (gabungan dari kontrak konstruksi dan investasi) menunjukkan bahwa aktivitas mulai kembali ke praktik-praktik yang terlihat sebelum pandemi Covid-19. Di masa lalu, investasi merupakan komponen utama dari keterlibatan Tiongkok di kawasan ini. Namun pada 2021, konstruksi menyumbang lebih dari 70% untuk pertama kalinya. Tahun lalu, investasi menyumbang sekitar 54% dari total keterlibatan, mendekati tingkat sebelum pandemi.
Investasi Cina di Enam Negara Turun
Di sisi lain, Filipina, Mongolia, Myanmar, Papua Nugini, Tajikistan, dan Turki mengalami penurunan 100% dalam keterlibatan Tiongkok mulai tahun 2022. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada investasi baru atau proyek konstruksi sama sekali.
"Ada berbagai alasan, tetapi biasanya karena penggabungan risiko politik dan ekonomi. Sebagai contoh, Filipina dan Cina mengalami pendinginan hubungan bilateral," kata Nedopil.
Keterlibatan dalam Koridor Ekonomi Tiongkok-Pakistan (CPEC) turun sekitar 74%, di tengah gejolak politik negara Asia Selatan dan kekhawatiran atas militansi. Keterlibatan di Australia turun sekitar 66%.
Secara keseluruhan, perusahaan swasta Tiongkok mendominasi investasi Asia-Pasifik pada tahun lalu. Kali ini lebih banyak pemain Tiongkok yang bergabung dibandingkan dengan dua tahun sebelumnya. Keterlibatan konstruksi, seperti tahun lalu, didominasi oleh perusahaan-perusahaan milik negara.
Transisi Energi dan Bahan Baterai Kendaraan Listrik
Sebagian besar investor swasta baru terlibat dalam transisi energi dan bahan baterai. Hal ini menggarisbawahi pendakian Cina ke puncak rantai pasokan industri mineral penting dan energi terbarukan di dunia.
Zhejiang Huayou Cobalt, salah satu pemurni kobalt terbesar di dunia, berkontribusi 21,2% terhadap total investasi Cina di Asia. Grup e-commerce Alibaba menyusul di posisi kedua dengan kontribusi sebesar 11,6%.
Pergerakan Tiongkok di bidang logam dan pertambangan, terutama sumber daya yang relevan dengan transisi hijau seperti lithium dan bahan baterai seperti nikel untuk kendaraan listrik, berpusat di Indonesia, Korea Selatan, Vietnam, dan Bangladesh. Nilai investasi di sektor tersebut mencapai US$5,3 miliar (Rp 82,68 triliun), tumbuh 130% dari tahun 2022. Akan tetapi, masih di bawah kecepatan yang terlihat pada tahun 2018 dan 2019.
Investasi penting di sektor kendaraan listrik meliputi usaha patungan antara Zhejiang Huayou Cobalt dan LG Chem di Korea Selatan, serta pabrik produsen mobil Cina di negara-negara seperti Thailand, Vietnam, dan Malaysia.
Serupa dengan BRI secara keseluruhan, keterlibatan Tiongkok di Asia-Pasifik tidak selalu sejalan dengan strategi Beijing dalam mengejar proyek-proyek "kecil namun indah". Setelah sepuluh tahun Belt and Road, ada banyak pembicaraan tentang kalibrasi ulang terhadap upaya yang lebih sederhana, terutama mengingat masalah ekonomi Cina saat ini.
Namun, ukuran kesepakatan rata-rata untuk investasi tetap tinggi pada tahun 2023, yaitu US$499 juta (Rp 7,78 triliun). Angka tersebut lebih dari dua kali lipat dari nilai terendah US$195 juta (Rp 3,04 triliun) pada tahun 2021, tetapi sedikit di bawah US$583 juta (Rp 9,09 triliun) yang tercatat pada tahun 2022. Untuk proyek konstruksi, nilai kesepakatan meningkat menjadi US$401 juta (Rp 6,25 triliun) pada tahun 2023 dari US$285 juta (Rp 4,45 triliun) pada tahun sebelumnya.
Laporan ini juga memprediksi pemulihan lebih lanjut dalam investasi dan konstruksi Cina di Asia-Pasifik pada tahun ini. Faktor-faktor yang menjadi katalis adalah meningkatnya urgensi dalam transisi hijau serta melemahnya permintaan domestik yang mendorong perusahaan-perusahaan Cina mencari peluang di luar negeri.
"Cina mungkin akan melanjutkan keterlibatannya dalam proyek-proyek infrastruktur strategis besar yang mungkin tidak memiliki keuntungan finansial secara langsung," kata laporan tersebut, merujuk pada rel kereta api, jalan raya, dan pelabuhan. Pasalnya, Cina berusaha untuk menghindari ketergantungan pada jalur-jalur transportasi yang rentan.