Masa Depan Bekerja Jarak Jauh, Pilih ke Kantor atau di WFH?
Salah satu dampak dari pandemi Covid-19 adalah perubahan pola kerja remote atau dari jarak jauh. Kebanyakan pekerja kerah putih tidak perlu lagi pergi ke kantor untuk bekerja. Tinggal berkoordinasi dengan modal jaringan internet.
Perlahan, seiring dengan tren kasus positif virus corona yang mulai mereda dan program vaksinasi yang makin masif, beberapa perusahaan mulai ‘menarik kembali’ karyawannya ke kantor. Hal ini tentunya menimbulkan pro dan kontra. Ada yang senang tapi tidak sedikit juga yang menolak.
Kembali bekerja di kantor diyakini dapat meningkatkan kolaborasi dan membantu adaptasi banyak personel baru di perusahaan.
Sebuah studi kolaborasi Microsoft dan University of California Berkeley Haas Business School menyimpulkan, mereka yang bekerja dari rumah selama pandemi lebih jarang berinteraksi dengan rekan kerja di luar timnya. Selain itu, akan butuh waktu yang lebih lama untuk berhubungan dengan karyawan baru.
Studi dilakukan terhadap perubahan kebiasaan komunikasi 61 ribu karyawan Microsoft pada periode menjelang dan awal pandemi Covid-19. Tepatnya antara Desember 2019 sampai Juni 2020. Microsoft menetapkan kerja remote sepenuhnya pada 5 Maret 2020, sebelum itu hanya sekitar 18 persen karyawan Microsoft yang bekerja secara remote.
Secara terperinci, pekerja menghabiskan rata-rata 25 persen waktu lebih sedikit untuk berkolaborasi dengan divisi lain. Perkenalan ataupun bekerja dengan orang baru juga memakan waktu lebih lama. Selain itu, terdapat kecenderungan menghabiskan lebih sedikit waktu untuk mengakses sumber informasi baru sehingga memperkecil kemungkinan adanya terobosan besar.
Meski di lain sisi, pekerja menghabiskan lebih banyak waktu berkomunikasi dengan anggota tim dari divisinya. Hal ini memperkuat hubungan dan koordinasi dalam tim.
Business Insider melansir, beberapa CEO perusahaan besar bahkan beranggapan WFH berdampak buruk bagi kultur perusahaan dan hubungan antarpekerja.
David Salomon dari Goldman Sachs, Jamie Dimon dari JPMorgan, serta Kanselir Bendahara Inggris Rishi Sunak, adalah beberapa petinggi yang bersuara cukup vokal soal dampak dari bekerja secara remote bagi kultur perusahaan, kolaborasi antartim, dan kesejahteraan pekerja.
Secara khusus, mereka khawatir dengan perkembangan dari para karyawan dan lulusan baru (fresh graduates) yang kehilangan akses untuk berkomunikasi atau belajar langsung dari seniornya.
Memilih Pindah Ketimbang Kembali ke Kantor
Di sisi lain, fleksibilitas yang ditawarkan WFH membuat sebagian pekerja merasa keberatan jika harus melepas ‘hak istimewa’ ini. Tidak sedikit yang tak keberatan mencari tempat kerja baru yang memungkinkan untuk bekerja secara remote.
Sejumlah pekerjaan yang bisa dilakukan di mana saja dirasa bisa memotong waktu perjalanan. Tidak lagi harus berhimpit-himpitan di kendaraan umum ataupun bermacet ria di jalan tol.
Sebuah studi yang dilakukan Bloomberg terhadap 1.000 orang dewasa di Amerika Serikat (AS) pada Mei 2021 mengungkap hasil bahwa sekitar 39 persen responden akan mempertimbangkan keluar dari pekerjaannya jika perusahaannya tidak fleksibel soal kerja remote.
Menariknya, perbedaan persepsi antargenerasi juga kian jelas. Di kelompok milenial dan Gen Z, angkanya melonjak sampai 49 persen terkait kemungkinan meninggalkan pekerjaan jika tidak memungkinkan WFH.
Sementara itu, survei dari FlexJobs terhadap lebih dari 2.100 orang menyebutkan, banyak juga yang beralasan WFH membuat mereka lebih irit. Sekitar 75 persen responden mengaku mereka bisa menabung sekitar US$ 5.000 setiap tahun dengan bekerja secara remote.
Fleksibilitas waktu dan tempat kerja memberi kesempatan bagi karyawan untuk mengatur sendiri aktivitasnya dan juga mengerjakan pekerjaan rumah yang kerap terbengkalai.
Sementara itu, survei lain yang dilakukan PwC terhadap 133 eksekutif di perusahaan di AS menunjukkan, ada tendensi bagi mereka untuk mulai menerapkan kerja remote. Paling banyak beranggapan pekerja harus ke kantor setidaknya tiga kali dalam seminggu. Sementara sekitar 13 persen beranggapan kantor tidak lagi diperlukan.
Tren bekerja remote juga sebenarnya banyak diharapkan masyarakat di Indonesia. Berdasar survey yang dilakukan JobStreet, sekitar 23 persen pekerja berharap dapat bekerja jarak jauh. Sementara terdapat 68 persen yang berharap bisa mengkombinasikan kerja remote dan di kantor, terutama di masa pandemi.
Masyarakat dapat mencegah penyebaran virus corona dengan menerapkan 3M, yaitu: memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak sekaligus menjauhi kerumunan. Klik di sini untuk info selengkapnya.
#satgascovid19 #ingatpesanibu #pakaimasker #jagajarak #cucitangan