Pahami Perundungan Siber, Ayo Bijak Berinternet
Pada tahun 2019 lalu, dunia digegerkan oleh kasus bunuh diri aktris sekaligus penyanyi asal Korea Selatan, Sulli, akibat depresi usai dirundung di media sosial pada 2019. Ini hanya bagian kecil dari kasus perundungan siber atau cyberbullying yang mendapat sorotan media.
Menurut United Nations Children's Fund, sebuah organisasi di bawah payung Perserikatan Bangsa-Bangsa yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan anak-anak di negara berkembang, cyberbullying adalah bentuk perundungan yang menggunakan teknologi media digital, platform pesan, platform permainan, dan ponsel.
Beberapa contoh tindakan perundungan siber antara lain menyebarkan informasi bohong, mengunggah foto memalukan, mengucilkan seseorang, mengancam, hingga menuliskan pesan atau komentar menyakitkan di media sosial.
Segala tindakan tersebut memiliki berbagai dampak buruk bagi para korbannya. Think Before Type mengungkap bahwa perundungan siber dapat memengaruhi kondisi psikologis mereka, mulai dari depresi, gelisah, cemas, serta memiliki kecenderungan menyakiti diri sendiri sampai mencoba bunuh diri.
Bahkan, perundungan siber juga dapat membuat korban menarik dari dari lingkungan sekitar dan kehilangan kepercayaan diri. Apabila terjadi pada anak-anak, tindakan itu dapat memengaruhi performa mereka di sekolah, seperti penurunan prestasi akademik, dan rendahnya tingkat kehadiran.
Di Indonesia, aksi perundungan siber juga sangat marak. Menurut survei Polling Indonesia bersama Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), sebanyak 49 persen pengguna internet pernah mengalami perundungan di media sosial. Survei dilakukan selama periode 9 Maret-14 April 2019 dengan melibatkan 5.900 responden.
Respon warganet terhadap aksi perundungan tersebut bervariasi. Sebanyak 31,6 persen mengaku membiarkan tindakan tersebut. Sedangkan 7,9 persen di antaranya merespons dengan membalas, sekitar 5,25 persen menghapus ejekan tersebut, dan 3,6 persen melaporkan tindakan tersebut ke pihak berwajib.
Jumlah kasus perundungan siber terus bertambah sejalan dengan meningkatnya jumlah pengguna internet dan arus informasi di media sosial. Apalagi, literasi digital di Indonesia masih dalam tingkat sedang, di mana berdasarkan riset yang dilakukan oleh Kementerian Kominfo bersama Katadata ditemukan bahwa indeks literasi digital nasional pada 2020 lalu memiliki skor 3,47 dari skala satu sampai lima.
Oleh karena itu, masyarakat yang minim kesadaran terhadap aksi perundungan siber perlu diedukasi. Dengan begitu, mereka bisa lebih bijak dan hari-hati dalam menggunakan dan memanfaatkan internet.
Lalu, bagaimana kalau menjadi korban perundungan siber? Pertama, kita perlu meyakini bahwa semua yang terjadi bukanlah salah Anda. Ceritakan apa yang Anda alami kepada orang terdekat seperti keluarga atau guru jika kasus tersebut terjadi di sekolah.
Jika Anda tidak nyaman berbicara dengan seseorang yang dikenal, bisa menghubungi Telepon Pelayanan Sosial Anak (TePSA) di 1500 771. Anda juga dapat menghubungi platform konseling Bully.id, di mana platform ini menyediakan konselor, psikolog, dan pengacara berlisensi untuk mendengarkan dan memberikan dukungan via live chat, audio, dan video call.
Tidak usah habisi waktu Anda untuk menanggapi atau membalas komentar berbau ejekan, hinaan, atau fitnah sekalipun di media sosial. Cukup proteksi akun Anda dan jangan lupa melaporkan akun yang merundung Anda di media sosial. Sejumlah platform digital seperti Facebook, Twitter, dan Instagram sudah memiliki opsi “Report” untuk melaporkan tindakan perundungan.
Payung Hukum
Segala kasus yang berkaitan dengan perundungan siber saat ini telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dalam Pasal 27 ayat 3 dan 4.
Namun, dari perspektif hukum, pakar sekaligus pengajar Fakultas Hukum Universitas Merdeka Malang Eka Nugraha Putra menilai, pasal terkait perundungan siber yang ada saat ini kurang efektif karena definisinya pun juga bermasalah.
Perundungan siber masih dimaknai sebagai bentuk “ancaman kekerasan” atau “menakut-nakuti secara pribadi”. Padahal, tindakan perundungan siber tak cuma sekedar itu saja. Menurut Eka, penindasan verbal adalah bentuk perundungan siber yang terjadi dalam kehidupan nyata, namun delik aduannya tidak termasuk dalam pasal yang sudah ada.
Kasus penindasan verbal pun banyak menimpa kalangan anak-anak dan remaja di media sosial. Menurut laporan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), pengaduan perundungan siber baru mulai muncul di 2016 dan terus meningkat sejak saat itu. Para korban mengalami perundungan dalam bentuk komentar negatif hingga penghinaan di media sosial.
Oleh karena itu, ia menuturkan, Indonesia perlu menggagas kembali payung hukum tentang perundungan siber. Misalnya, mendefinisi ulang tentang perundungan siber dan merumuskan pasal baru dalam UU ITE sebagai aturan hukum khusus terkait bullying di internet.
“Perumusan pasal baru akan jauh lebih efektif ketimbang sekadar melekatkan definisi cyberbullying pada pasal sekarang,” ungkapnya seperti dikutip dari The Conversation.
Informasi lebih lanjut tentang literasi digital dapat diakses melalui info.literasidigital.id.