Swasembada Garam Diprediksi Sulit Tercapai
Sejumlah kalangan menilai target swasembada garam yang dicangkan pemerintah pada 2019 bakal sulit tercapai. Bermodal data panjang garis pantai saja tak cukup, sebab ada sejumlah faktor teknis lain yang menjadi kendala upaya mendorong peningkatan produksi garam. Dengan begitu, impor bakal tetap menjadi pilihan yang tak terhindarkan.
Ekonom Universitas Indonesia (UI) Faisal Basri menyangsikan target pemerintah terkait swasembada garam pada 2019 bakal tercapai. Pasalnya, pesisir pantai saat ini lebih banyak digunakan untuk kepentingan ekonomi lain.
Saat ini, Indonesia tercatat memiliki panjang garis pantai 99 ribu kilometer (km) dengan produksi garam nasional hanya sebesar 2,6 juta ton per tahun, sementara kebutuhannya mencapai 4 juta ton. Dengan demikian, modal garis panjang pantai terpanjang saja tak menjamin Indonesia bisa menjadi produsen garam terbesar dunia. “Sebab, tidak seluruh pantai dipakai sebagai ladang garam,” ujarnya di Jakarta, Kamis (22/2).
(Baca : Petani Klaim Produksi Garam Lokal Sudah Penuhi Standar Mutu )
Ia pun menuturkan, sebagian besar pesisir pantai justru dimanfaatkan untuk kepentingan ekonomi lain, seperti tambak dan pariwisata. Bahkan menurutnya, lebih mudah menemukan penginapan dibanding mencari ladang garam di pantai Indonesia.
Dengan demikian, jika Indonesia berkukuh pada target swasembada garam, maka harus opportunity cost yang dikorbankan untuk membuat tambak garam dibandingkan bangunan lain yang memiliki nilai tambah lebih tinggi. “Persoalannya bukan hanya sekadar bisa produksi, faktor penting lain juga ada pada kualitas,” jelasnya.
Karenanya, dia meminta pemerintah agar bisa menentukan kebijakan yang tepat, dimana tak hanya menekankan pada keuntungan petani, tapi juga memperhatikan kebutuhan industri.
Selain itu, butuh kerja sama untuk memotong rantai pasok yang dinikmati oleh pemburu rente. “Kerja sama untuk melawan calo yang menikmati hasil tanpa melakukan apa-apa,” tutur Faisal.
Dengan gambaran tersebut, dia pun menilai impor garam menjadi opsi yang tidak bisa dihindari. Pasalnya banyak negara produsen garam, saat ini juga masih melakukan impor untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
(Baca: Pengusaha Makanan Sebut Mutu Garam Lokal Tak Sesuai Kebutuhan)
Menurut catatannya, Kanada dengan garis pantai 202.080 kilometer (km) sebagai yang terpanjang masih menjadi importir garam terbesar nomor 8 di dunia. Amerika Serikat (AS) pun menjadi importir garam terbanyak di dunia padahal menempati urutan garis pantai terpanjang ke-9 dengan 19.924 km.
Sementara India sebagai pemilik garis pantai nomor 20 mampu menjadi produsen terbesar ketiga dunia. Begitu juga dengan Tiongkok yang menempati urutan ke-12, bisa menjadi produsen nomor satu dunia. Meski begitu, ekspornya peringkat ke-10 dan impornya menjadi yang ketiga.
Kondisi Indonesia sebagai negara pengimpor garam juga dipahami Anggota Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Daniel Johan, lantaran garam bukan produk unggulan Indonesia.
Ia pun menilai Indonesia lebih baik memilih produk unggulan untuk penentu kebutuhan global, misalnya sebagai negara tropis Indonesia memiliki rempah-rempah dan beras yang bisa menjadi produk unggulan. “Swasembada dengan garis pantai itu membuat opini yang salah,” ujar Daniel.
Sebab, menurut perhitungannya, Indonesia memiliki 25.830 hektare tambak menghasilkan 2,6 juta ton garam per tahun. Sedangkan kebutuhan total mencapai 4 juta ton dengan rincian kebutuhan konsumsi 1,8 juta ton dan industri 2,2 juta ton.
Selain itu, beberapa faktor teknis lain juga diperkirakan kurang mendukung pencapaian target swasembada garam tahun depan., seperti kondisi cuaca yang tak menentu. Padahal sebagian petani garam masih melakukan produksi dengan metode tradisional, yakni memanfaatkan panas matahari.
"Selain panas matahari, ada juga faktor kelembaban udara, arah angin, ketebalan lumpur, dan banyak faktor alam. Karenanya, begitu ada gangguan cuaca, produksi terhambat,” ujar Guru Besar Teknik Kimia UI Misri Gozan
Selain produksi mudah terhambat, kualitas garam yang dihasilkan petambak dengan metode tradisional juga rendah. Oleh karena itu, ia mendorong pemerintah turut membantu peningkatan produktivitas garam dengan pemanfaatan teknologi.
Menaggapi usulan tersebut, Direktur Jasa Kelautan Direktorat Pengelolaan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan Abduh Nurhidayat menjelaskan skema insentifikasi dengan memanfaatkan kajian teknologi sebetulnya sudah dilakukan.
Penggunaan bahan kimia bakal dilakukan untuk pengikatan mineral sehingga proses pengkristalan garam semakin cepat. “Intinya kami mempercepat proses evaporasi sehingga tidak tergantung pada matahari,” kata Abduh.
Air laut yang diambil akan diproses secara sains. Dengan teknik tersbut, biaya produksi garam akan lebih rendah. Selain itu ada produk sampingan yang bisa dihasilkan seperti bahan pupuk.
"Proyek percobaan juga sudah dilakukan untuk lahan 1 hektare di Indramayu, Jawa Barat. Kami masih berbicara tentang proses, belum hasil,” ungkapnya.
KKP juga melakukan pugar kelembagaan petambak garam dengan merancang koperasi sekunder di beberapa wilayah dan juga dilengkapi dengan koperasi induk yang lebih besar. Sehingga, sistem kerja sama dan terpadunya petambak semakin kuat.