Faktor Politik Domestik Tak Berpengaruh Signifikan terhadap Ekonomi
Persoalan politik di dalam negeri dinilai tidak berpengaruh signifikan terhadap stabilitas ekonomi Indonesia. Pasalnya, perseroan tersebut tak memiliki dampak langsung terhadap praktik ekonomi di Tanah Air.
"Yang pengaruhnya paling minor adalah faktor politik domestik," kata Direktur Eksekutif Charta Politika, Yunarto Wijaya, dalam CEO Talks di Raffles Hotel, Jakarta, Selasa (26/11).
Faktor politik baru berpengaruh terhadap stabilitas ekonomi jika terjadi konflik berkepanjangan, seperti perang. Selain itu, stabilitas ekonomi bisa terguncang jika ada pemimpin populis yang memang berniat mengubah struktur sistem pemerintahan dan ekonomi secara sengaja.
Hal itu, kata Yunarto, bisa terlihat dari kasus yang terjadi di Venezuela. Perekonomian Venezuela lumpuh karena pemerintahnya menetapkan kebijakan-kebijakan yang dianggap terlalu mengekang.
Salah satunya adalah pembatasan dana yang boleh dikeluarkan masyarakat untuk bisa mendapatkan barang dan jasa. Pemerintah Venezuela juga membatasi orang-orang yang bisa menukar mata uang bolivar dengan dolar Amerika Serikat (AS).
Pemerintah Venezuela juga dianggap tak tepat ketika menggunakan terlalu banyak anggaran negara untuk program sosial. Krisis ekonomi di Venezuela diperparah dengan adanya dualisme kepemimpinan antara Presiden Nicolas Maduro dan Juan Guaido. "Di luar itu, ekonomi memiliki relnya sendiri," kata Yunarto.
(Baca: INDEF Proyeksikan Pertumbuhan Ekonomi Indonesia 2020 di Angka 4,8%)
Faktor Eksternal Lebih Menentukan
Ia justru menilai faktor eksternal berpengaruh lebih signifikan terhadap stabilitas ekonomi Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari berbagai hal yang dihadapi Indonesia saat ini, salah satunya adalah perang dagang antara AS dan Tiongkok. "Paling besar faktor ekonomi global. Memang guncangan terakhir bukan dari domestik," ucapnya.
Lebih lanjut, ia mengatakan, faktor politik domestik yang akan mewarnai 2020 adalah pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak yang dilaksanakan di 270 daerah. "Bagi bisnis akan lebih baik (Pilkada) serentak. Kalau sendiri-sendiri itu akan banyak konflik," kata Yunarto.
Menurutnya, politik dalam negeri tidak akan banyak berubah. Presiden Joko Widodo (Jokowi) adalah sosok yang probisnis. Hal tersebut tercermin dalam sejumlah pidatonya.
Dalam pidato kemenangan "Visi Indonesia" di Sentul International Convention Center (SICC), Jokowi dalam menekankan pada pembangunan infrastruktur, reformasi birokrasi, dan sumber daya manusia (SDM). Ketika berpidato di Kongres Partai Nasional Demokrat (Nasdem), Jokowi menyinggung tidak akan segan-segan 'menggigit' pihak-pihak yang menghambat kebijakannya untuk menurunkan impor.
"Jokowi itu pebisnis, ia sangat pro-market. Orang yang berlatarbelakang bisnis pasti bicara prioritas ia memasukkan uang," katanya. Tidak mengherankan jika investasi menjadi salah satu perhatian pemerintahan Jokowi di periode kedua ini.
(Baca: Jokowi Yakin Penyakit Defisit Transaksi Berjalan Tuntas dalam 4 Tahun)