Jaksa Ditangkap KPK, ICW Minta Jaksa Agung Mundur
Pada Jumat (28/6) lalu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap Asisten Pidana Umum Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta Agus Winoto, satu orang pengacara, serta satu pihak swasta dalam perkara suap terkait penanganan perkara di Pengadilan Negeri Jakarta Barat.
Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebut kejadian ini membuat citra penegak hukum semakin merosot di mata publik. Apalagi, tertangkapnya oknum kejaksaan dalam dugaan tindak pidana korupsi bukan kali pertama terjadi.
Dalam kurun waktu 2004 - 2018, telah ada 7 Jaksa yang terlibat praktik rasuah dan terjaring oleh KPK. “Karena peristiwa ini sudah berulang, maka Jaksa Agung diminta mengundurkan diri karena telah gagal memastikan Kejaksaan bebas dari korupsi,” demikian dikutip dari siaran pers ICW, Sabtu (29/6) malam.
ICW menyebut, ada respon menarik yang muncul atas operasi tangkap tangan yang dilakukan oleh KPK kali ini. Sebab, beberapa pihak yang berpandangan bahwa kasus ini mesti ditangani oleh internal Kejaksaan Agung.
“Jika merujuk kepada kewenangan dan dasar pembentukan KPK, pandangan ini tentu saja keliru dan harus dikritisi secara serius.”
(Baca juga: Tangkap Jaksa, KPK Bantah Permalukan Kejaksaan Agung)
Menurut ICW, setidaknya ada 3 (tiga) argumentasi yang dapat dikemukakan. Pertama, KPK adalah lembaga yang paling tepat untuk menangani kasus korupsi penegak hukum. Berdasarkan pasal 11 huruf a UU KPK, menyebutkan kewenangan KPK dalam menangani perkara yang melibatkan aparat penegak hukum.
Kedua, tidak ada lembaga atau pihak manapun yang boleh mengintervensi penegakan hukum yang dilakukan KPK. Undang-undang telah menyebutkan bahwa KPK adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.
Apabila dalam penanganan perkara ada pihak yang mencoba intervensi, dapat dianggap menghalang-halangi proses penegakan hukum (obstruction of justice) dengan ancaman pidana penjara maksimal 12 tahun.
Dan ketiga, penanganan perkara harus bebas dari konflik kepentingan. Jaksa Agung sebaiknya mengurungkan niatnya untuk menangani oknum jaksa yang tertangkap oleh KPK. Sebaiknya Jaksa Agung melakukan perbaikan di internal.
(Baca juga: Polisi Sita Uang Rp 173 M dalam Kasus Korupsi Eks Bos PLN Nur Pamudji)
Terkait dengan korupsi yang selama ini dilakukan oleh oknum Jaksa, ICW setidaknya mencatat 3 pola korupsi yang kerap dilakukan. Pertama, tersangka diiming-imingi pemberian Surat Pemberitahuan Penghentian Penyidikan (SP3) dan Surat Keterangan Penghentian Penuntutan (SKP2).
“Tahap ini menjadi awal dari potensi korupsi terjadi, karena bagaimanapun pihak Jaksa tersebut akan berupaya agar kasus tidak sampai dilimpahkan ke persidangan,” demikian dikutip dari pernyataan ICW.
Kedua, pemilihan Pasal dalam surat dakwaan yang lebih menguntungkan terdakwa, atau hukumannya lebih ringan. Ketiga, pembacaan surat tuntutan yang hukumannya meringankan terdakwa.