Mengenang Rayuan Pulau Palsu Reklamasi Teluk Jakarta
"Nelayan Jakarta berhadapan dengan kekuatan pemodal yang melakukan ekspansi properti lewat reklamasi. Janji-janji disebarkan, mulai dari lingkungan yang lestari hingga kesejahteraan nelayan. Benarkah? Ataukah itu hanya rayuan pulau palsu?"
Begitulah sinopsis film dokumenter “Rayuan Pulau Palsu”. Salah satu film yang berisi kritikan terhadap proyek Reklamasi Teluk Jakarta. Kritikan tentang proyek ini telah lama digaungkan oleh berbagai lintas tokoh, termasuk Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta.
Anies Baswedan memberikan harapan baru untuk memperjuangkan estafet penolakan Reklamasi Teluk Jakarta dengan perannya sebagai Gubernur DKI Jakarta. “Jangan ragukan komitmen saya (menolak reklamasi),” ujarnya saat kontestasi Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI Jakarta 2017.
(Baca: Terbitkan IMB Reklamasi Jakarta, Anies Disebut Tak Berbeda dengan Ahok)
Namun, pernyataan Anies ini seolah luntur dengan terbitnya Izin Mendirikan Bangunan (IMB) untuk sejumlah bangunan di pulau hasil Reklamasi Teluk Jakarta. Anies dinilai tak konsisten terhadap janji yang dikumandangkan saat kampanye untuk membahagiakan warganya agar maju kotanya.
Dilansir dari berbagai sumber, Anies memberikan beberapa tanggapan mengenai keputusannya memberikan IMB di sejumlah pulau hasil Reklamasi Teluk Jakarta.
1. Menyayangkan pemerintahan sebelumnya atas Pergub 206 Tahun 2016
Menurut Anies, Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 206 Tahun 2016 tentang Panduan Rancang Kota (PRK) Pulau Reklamasi Teluk Jakarta mengharuskannya menerbitkan IMB. Anies menyayangkan pemerintahan sebelumnya yang cerdik dengan mengebut penerbitan aturan ini, sebelum dia menjabat sebagai gubernur.
Sertifikat pengelolaan lahan (HPL) dan hak guna bangunan (HGB) juga terbit sebelum Anies menjabat. Tak hanya itu, 17 pulau reklamasi yang direncanakan dibangun sudah masuk dalam peta rencana tata ruang wilayah (RTRW) Jakarta. Selain itu, Pemprov DKI terikat dalam Perjanjian Kerjasama (PKS) dengan pihak pengembang sejak 1997. Pemprov DKI memiliki kewajiban untuk memberikan izin sepanjang pihak pelaksana Reklamasi Teluk Jakarta menunaikan kewajibannya.
2. Memberikan Kepastian Hukum kepada Pengembang.
Ada sekitar seribu unit rumah di pulau hasil Reklamasi Teluk Jakarta yang telah dibangun oleh pengembang tanpa IMB pada periode 2015-2017. Hal ini yang membuat Anies memilih untuk meloloskan IMB untuk para pengembang. Dia bisa saja mencabut pergub tersebut, agar rumah yang telah dibangun kehilangan dasar hukum dan membongkarnya. Namun, dia menilai yang hilang tidak hanya rumah, tetapi juga kepastian hukum bagi masyarakatnya.
Anies mengatakan pengembang harus pembayaran denda hingga mengurus secara hukum ke pengadilan sebagai pemenuhan syarat melanjutkan pembangunan. Saat ini hanya 5 persen lahan Reklamasi Teluk Jakarta yang dimiliki pengembang. (Baca: Nelayan & Walhi Nilai Reklamasi Jakarta Fasilitasi Kepentingan Bisnis)
3. Memberikan Manfaat untuk Pembangunan DKI Jakarta
Anies meyakini sisa lahan Reklamasi Teluk Jakarta sebanyak 95 persen dapat dimanfaatkan Pemprov DKI Jakarta untuk ditata ulang yang sesuai dengan visinya. Hal ini bertujuan untuk memberikan manfaat yang seluasnya kepada publik.
Meski alasan Anies positif, tetapi kontribusi 15 persen dari pengembang yang dicanangkan oleh rezim Ahok belum diwacanakan. Dia malah mempertanyakan landasan hukum nilai kontribusi 15 persen tersebut. “Coba ditanya, kenapa kok 15 persen? Kenapa enggak 17 persen? Kenapa enggak 22 persen? Apa dasarnya” ujar Anies di Gedung DPRD DKI Jakarta, Selasa (26/6).
(Baca: Anies Belum Pikirkan Kontribusi Tambahan Pengembang di Pulau Reklamasi)
4. Hasil Reklamasi Teluk Jakarta adalah Pantai, Bukan Pulau
Menurut Anies, lahan hasil Reklamasi Teluk Jakarta adalah pantai, bukan pulau. Ia merujuk kepada Konvensi Hukum Laut Internasional atau Hukum Perjanjian Laut (UNCLOS). Dia mencontohkan sejumlah wilayah lain di Jakarta seperti Ancol, Mutiara, dan Indah Kapuk yang merupakan hasil reklamasi dan dinamakan pantai. Ini juga bentuk konsistensi Pemprov DKI untuk menamakan semua daratan sebagai Pulau Jawa, jadi tidak ada pulau hasil Reklamasi Teluk Jakarta.
Diksi pantai dan bukan pulau ini direspon oleh berbagai pihak. Salah satunya, Asisten Professor di Fakultas Hukum UGM Agung Wardana yang menyatakan pernyataan Anies salah kaprah. Pasal 121 ayat 1 UNCLOS, memang menyatakan tidak ada pulau selain pulau yang terbentuk secara alami. Namun, jika melihat pasal sebelumnya, yaitu pasal 60, memberikan hak kepada negara untuk membuat dan mengaturnya. Makanya, artificial islands/pulau buatan” memiliki implikasi dan status yang berbeda.
Agung juga menilai pernyataan Anies yang menyebut pantai akan berdampak kepada garis pantai negara. Hal ini berimplikasi pada perubahan batas laut teritori dan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). Apabila pernyataan Anies dapat diterapkan, maka akan menimbulkan sengketa batas negara karena banyak negara yang berlomba melakukan reklamasi untuk meluaskan teritorinya sehingga menyebabkan tumpang tindihnya batas perairan.
Fraksi PDIP DPRD DKI Jakarta juga menanggapi pernyataan Anies. Gembong Warsono, Ketua Frkasi PDIP, mengatakan definisi pulau terpisah dari pantai. Ia juga menganalisa bahwa menyatukan pulau buatan dengan pantai karena rancangan peraturan daerah mengenai tata ruang belum disahkan.
(Baca: PDIP Anggap Anies Salahi Prosedur dengan Terbitkan IMB Reklamasi)
Menengok Sejarah Panjang Reklamasi Teluk Jakarta
Ketua Komunitas Nelayan Tradisional (KNT), Iwan Carmidi menganggap Anies lebih mendukung pengembang daripada nelayan. Aksi pun dilakukan oleh berbagai lintas masyarakat. Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta menggelar aksi dengan berjalan mundur dari Patung Kuda Jalan Merdeka Barat hingga Balai Kota DKI Jakarta pada Senin, (24/6). Aksi ini diwarnai dengan kampanye tagar “Selamatkan Teluk Jakarta, #MajuPantainyaSengsaraWarganya”.
Selain itu, Anies juga mendapat sindiran langsung dari gubernur sebelumnya, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Ahok disebut sebagai tokoh utama yang mendukung adanya Reklamasi Teluk Jakarta, tetapi ia menilai langkahnya berbeda dengan yang dilakukan Anies.
Ahok berujar pada masa kepemimpinannya tidak dapat mengeluarkan IMB. Hal ini dikarenakan Peraturan Gubernur Nomor 206 tahun 2016 sebagai dasar penerbitan IMB di Pulau D pada era Ahok tidak dapat dipakai untuk mendirikan IMB sebagaimana Anies sekarang.
(Baca: Giant Sea Wall Akan Tetap Berjalan Meski Proyek Reklamasi Bermasalah)
Ahok juga yakin Reklamasi Teluk Jakarta akan memberikan pendapatan untuk DKI Jakarta hingga mencapai Rp 100 triliun. Pendapatan ini didapatkan dari kontribusi tambahan yang saat itu diajukan sebesar 15 persen dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) dari pengembang.
Sikap Ahok atas pro Reklamasi Teluk Jakarta dilatarbelakangi semangat untuk melanjutkan gagasan Presiden Soeharto yang dalam Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 52 Tahun 1995. Pasal 1 ayat 1 menyebutkan Reklamasi Pantai Utara Jakarta (Reklamasi Pantura) adalah kegiatan penimbunan dan pengeringan laut dibagian perairan laut Jakarta. Kegiatan ini diberikan kepada Gubernur DKI Jakarta untuk mengembangkan Kawasan Pantura.
Sejak inilah Reklamasi Teluk Jakarta mengalami perdebatan. Pada 2003, Kementerian Lingkungan Hidup (LH) menerbitkan Surat Keputusan Menteri Negara LH Nomor 14, yang menyebutkan rencana kegiatan reklamasi dan revitalisasi Pantai Utara Jakarta tidak layak. Keputusan ini diambil berdasarkan hasil studi analisis dampak lingkungan (amdal) terhadap proyek Reklamasi Teluk Jakarta. Namun, Pemprov DKI tetap bersikukuh melanjutkannya karena dianggap memiliki nilai strategis.
Pada 2007, di bawah kepemimpinan Sutiyoso, Pemprov DKI menerbitkan IMB Pulau D kepada pengembang PT Kapuk Naga Indah (Agung Sedayu Group). Namun, dua tahun kemudian Mahkamah Agung (MA) memenangkan Kementerian LHK dalam kasasi yang diajukan. Pembangunan Pulau D pun terhenti dan Reklamasi Teluk Jakarta dinyatakan tak layak. Kemenangan ini tidak bertahan lama, MA mengeluarkan putusan yang menyatakan Reklamasi Teluk Jakarta legal pada 2011.
Pada era kepemimpinan SBY, Reklamasi Teluk Jakarta dilanjutkan kembali, melalui Peraturan Presiden Nomor 122 Tahun 2012 tentang Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Di saat yang bersamaan, Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo mengeluarkan Peraturan Gubernur Nomor 121 tentang penataan ruang kawasan reklamasi Pantura Jakarta untuk mengembangkan 17 pulau buatan.
Pada 2016, Kementerian LHK menyegel Pulau C, D, dan G selama 120 hari karena perizinan lingkungannya belum ada. Di saat yang sama, Rizal Ramli menghentikan sementara (moratorium) Reklamasi Teluk Jakarta saat menjabat sebagai Menko Bidang Kemaritiman. Di tengah moratorium, Pemprov DKI menerbitkan izin lingkungan pada April 2017 dan Menko Luhut (pengganti Rizal Ramli) mencabut moratorium Reklamasi Teluk Jakarta pada September 2017.
(Baca: Nelayan dan LBH Minta Anies Cabut IMB Reklamasi karena Cacat Hukum)
Pada masa kepemimpinan Anies, ia menyegel bangunan karena tidak memiliki IMB. Kemudian mencabut izin prinsip proyek 13 pulau reklamasi yang belum terbangun. Meskipun pada akhirnya segel tersebut dicabut dan PT Jakpro sebagai BUMD diberikan kewenangan untuk mengelolanya.
Anies kemudian banting setir dengan menerbitkan IMB untuk bangunan yang sudah terbangun. Ia memastikan untuk bangunan yang belum dibangun tidak akan diterbitkan IMB.