Jalan Panjang Keberagaman Gender di ASEAN

Image title
28 Juni 2019, 19:17
Dian Wulandari dalam acara Katadata Forum X Investing in Women yang mengangkat tema “Scaling Up Women Enterprenuers” di JW Marriot Hotel, Mega Kuningan, Jakarta (5/3). Diskusi akan dipandu oleh Marlisa Soepeno (Owner of Manessa Ethnic). Hadir pula sebagai
Ajeng Dinar Ulfiana | KATADATA
Dian Wulandari dalam acara Katadata Forum X Investing in Women yang mengangkat tema “Scaling Up Women Enterprenuers” di JW Marriot Hotel, Mega Kuningan, Jakarta (5/3). Diskusi akan dipandu oleh Marlisa Soepeno (Owner of Manessa Ethnic). Hadir pula sebagai pembicara Hayuning Sumbadra, Owner of ADRAWORLD, Batin and Untukmu, Dian Wulandari, Co-Founder of Instellar dan Dondi Hananto, Partner of Patamar Capital.

Kiprah perempuan di dalam jajaran direksi perusahaan tak bisa disepelekan. International Finance Corporation (IFC) menemukan fakta bahwa di ASEAN, perusahaan yang memiliki banyak perempuan pada top management kerap diasosiasikan sebagai entitas bisnis dengan rapor baik.

Institusi bagian dari Grup Bank Dunia tersebut spesifik meneropong lebih dari 1.000 perusahaan di Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand, dan Vietnam. Kajian yang dilakukan IFC memastikan bahwa kepemimpinan perempuan memang berimbas positif terhadap kinerja perusahaan.

Studi berjudul “Board Gender Diversity in ASEAN” itu memperoleh fakta bahwa perusahaan yang tidak memiliki direksi perempuan hanya mengantongi rerata tingkat pengembalian aset (return on assets / ROA) sebesar 2,4%. Tapi, perusahaan dengan lebih dari 30% direksinya adalah kaum hawa menghasilkan ROA 3,8%.

Demikian pula dengan rasio pengembalian ekuitas (return of equity / ROE), perusahaan-perusahaan yang memiliki lebih dari 30% anggota direksi perempuan melaporkan ROE sebesar 6,2%. Mereka yang jajaran direksinya hanya laki-laki melaporkan ROE sebesar 4,2%.

Direktur Regional IFC Asia Timur dan Pasifik Vivek Pathak memaparkan, hasil kajian IFC menekankan pentingnya keberagaman gender di ruang direksi perusahaan di kawasan Asia. “Dengan memanfaatkan potensi perempuan dalam dunia bisnis, perusahaan-perusahaan Asia dapat menjadi lebih kuat dan lebih menarik bagi investor,” katanya.

IFC turut mengemukakan bahwa kepemimpinan perempuan tidak hanya mempengaruhi kinerja bisnis. Aspek lain yang terimbas ialah reputasi perusahaan serta kesempatan berkarir, tentu secara umum menjadi lebih baik.

Namun, upaya menapaki jenjang karir yang lebih tinggi bagi perempuan pekerja bukan tanpa hambatan. Apalagi kalau targetnya adalah level direksi. Di beberapa negara kawasan Eropa barat, porsi perempuan dalam jajaran direksi antara 30% - 40%. Angka ini timpang jika dibandingkan dengan wilayah lain, khususnya Asia Tenggara alias ASEAN. 

Meneropong Indonesia, masih banyak pekerjaan rumah menyangkut perbaikan keberagaman gender di dunia kerja. Untuk kawasan ASEAN saja, Merah Putih kalah dari Thailand. Negeri Gajah Putih menjadi yang paling beragam (diverse), jumlah perempuan yang menduduki kursi direksi di perusahaan terbuka mencapai 20,4%. Urutan kedua adalah Vietnam (15,4%), barulah Indonesia (14,9%).

Lebih jauh menyorot Indonesia, dari penelitian IFC diketahui ada tiga industri teratas yang memiliki persentase jumlah anggota direksi perempuan tertinggi. Sektor yang dimaksud ialah perindustrian (26%), real estate (20%), dan consumer goods (15%).

Keberagaman gender di dalam jajaran eksekutif dipengaruhi sejumlah faktor, misalnya struktur kepemilikan perusahaan dan karakter industri. Aspek lain ialah kehadiran aktivis gender, arahan investor agar merujuk kepada global best practice, serta karakter klien yang memang beragam.

Y.W. Junardy selaku Presiden Global Compact Network (IGCN) Indonesia mengatakan, ruang direksi beranggotakan perempuan terbukti menunjukkan kemampuan pengambilan keputusan lebih baik. Mereka memiliki perspektif yang lebih luas sehingga memungkinkan terjadinya inklusivitas lebih besar dan akhirnya kinerja keuangan lebih cemerlang.

“Bisnis inklusif yang mempromosikan kesetaraan gender, pekerjaan layak, dan pertumbuhan ekonomi adalah kunci untuk mencapai tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs),” imbuhnya.

Perusahaan di sebagian negara ASEAN kini terpantau mulai mengubah tata kelola mereka. Pasalnya, untuk mewujudkan keberagaman gender dibutuhkan kesetaraan peluang untuk menjangkau posisi-posisi senior. Guna menjamin peluang yang equal ini perlu adanya peraturan yang mendukung.

Contoh kasus, seorang perempuan meninggalkan dunia kerja formal lantaran alasan keluarga. Sebut saja membesarkan anak, atau merawat keluarga yang berusia lanjut. Kendala semacam ini bisa disiasati dengan membuat mekanisme kerja yang fleksibel, misalnya bekerja tidak harus di kantor. Selain itu, laki-laki juga selayaknya diberikan hak parental leave.

Sejauh ini hambatan tidak hanya datang dari internal diri perempuan, tetapi juga lingkungan. Stereotip bahwa kaum hawa kerap dinilai tidak pas untuk menduduki kursi direksi. Mereka dilabeli ‘keibuan’ sehingga dirasa tak cocok memimpin. Tampuk kepemimpinan sering kali diasosiasikan hanya tepat dipegang laki-laki.

Mewujudkan kesetaraan gender bagi perempuan di dunia kerja merupakan proses panjang. Pasalnya, yang harus diatasi tidak hanya hambatan yang bersifat umum, alias menimpa perempuan pekerja secara global. Kendala kultural dan struktural yang khusus juga perlu ditangani.

Pada pengujung laporan, IFC menegaskan, keberagaman gender berpengaruh terhadap kinerja perusahaan. Supaya kiprah perempuan pekerja menyumbang dampak signifikan, jumlah mereka harus banyak. Selama porsi kepemimpinan kaum hawa minim, manfaat gender diversity sukar dirasakan.

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...