Hakim MK Nilai Tak Tepat Gunakan Situng untuk Mendebat Hasil Pemilu
Hakim Konstitusi Arief Hidayat mengatakan, Sistem Informasi Penghitungan Suara (Situng) milik Komisi Pemilihan Umum (KPU) tak bisa dijadikan landasan untuk memperdebatkan hasil Pemilu 2019. Sebab, penghitungan hasil Pemilu 2019 secara resmi dilakukan melalui rekapitulasi secara berjenjang.
Pernyataan Arief tersebut untuk menengahi perdebatan antara Ketua Tim Kuasa Hukum Joko Widodo-Ma’ruf Amin, Yusril Ihza Mahendra, dan anggota Tim Kuasa Hukum Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, Iwan Setiawan. Keduanya sempat berdebat mengenai audit forensik terhadap Situng KPU.
Awalnya, Yusril menyebut audit forensik seharusnya hanya dilakukan atas permintaan institusi negara yang resmi. Ia mencontohkan, dalam suatu kasus pembunuhan, maka polisi yang berwenang meminta pihak rumah sakit untuk melakukan forensik. “Misalnya, untuk melakukan bedah dalam rangka forensik, hasilnya ada visum,” kata Yusril di gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (20/6).
(Baca: Saksi Ahli KPU Nyatakan Situng Tetap Aman Meski KPU Kejatuhan Pesawat)
Jika ada kecurigaan satu lembaga melakukan korupsi, Yusril menilai yang berwenang melakukan audit forensik adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Hal serupa terjadi jika ada orang yang mati diracun. Menurut Yusril, polisi lah yang bisa melakukan forensik melalui Laboratorium Forensik Mabes Polri. “Jadi, hasilnya itu resmi,” ucap dia.
Yusril pun heran jika Tim Kuasa Hukum Prabowo-Sandiaga mengklaim telah menghadirkan ahli yang telah melakukan audit forensik terhadap Situng KPU. Menurut Yusril, ahli itu seharusnya hanya memberikan pendapat di muka persidangan.
Selain itu, Yusril mempertanyakan apa kapasitas Tim Kuasa Hukum Prabowo-Sandiaga meminta ahli tersebut untuk melakukan audit forensik. Sebab, mereka bukanlah institusi negara yang resmi. “Saya kira ini perlu diluruskan,” kata Yusril.
(Baca: Mahfud MD Nilai Tim Prabowo Belum Buktikan Dalil Gugatan Kecurangan)
Iwan lantas tak sependapat dengan pernyataan Yusril. Menurut dia, bukan hanya institusi negara secara resmi saja yang bisa meminta atau melakukan audit forensik.
Ia mencontohkan audit forensik pernah dilakukan oleh Muhammadiyah dalam kasus terorisme di Klaten. Ketika itu, Iwan menjadi kuasa hukum dari orang yang meninggal dalam kasus tersebut. “Jadi saya tidak setuju kalau audit forensik hanya boleh dilakukan institusi resmi,” katanya.
Lebih lanjut, Iwan menyebut sudah lama ada permintaan audit forensik terhadap teknologi informasi KPU. Hanya saja, KPU tidak pernah menanggapi permintaan tersebut.
Alhasil, Iwan menilai wajar jika ada audit forensik dilakukan lembaga di luar institusi resmi negara. “Ini langkah check and balance,” kata Iwan.
(Baca: Profil Dua Saksi Ahli Tim Prabowo yang Persoalkan Situng KPU )
Mendengar perdebatan tersebut, Arief menilai persoalan audit forensik Situng KPU tak perlu dibahas lagi. Sebab, hasil penghitungan suara dalam Situng KPU tidak resmi.
Situng KPU hanyalah mekanisme KPU untuk keterbukaan, akses informasi, akuntabilitas, dan kontrol masyarakat terhadap hasil Pemilu 2019. Adapun, hasil resmi penghitungan suara Pemilu 2019 didapatkan dari rekapitulasi secara berjenjang. “Jadi kalau mau diadu, menurut undang-undang, adalah (hasil rekapitulasi) penghitungan suara secara berjenjang,” kata Arief.
Selain itu, Arief menyebut hasil penghitungan suara di Situng KPU tak akan dipakai oleh majelis hakim MK dalam memutus perkara. Menurut Arief, majelis hakim MK akan memeriksa C1 Plano berhologram dari masing-masing pihak. “Jadi yang dipakai adalah penghitungan suara secara manual,” kata Arief.