Produksi Batu Bara Bukit Asam Naik 8% di 2018
PT Bukit Asam Tbk (PTBA) mencetak realisasi produksi batu bara sepanjang 2018 sebsar 26,19 juta ton. Produksi tersebut tumbuh 8% dibanding tahun sebelumnya sebesar 24,24 juta ton.
Sekertaris Perusahaan Bukit Asam Seherman mengatakan peningkatan produksi ini salah satunya disebabkan oleh optimalisasi kinerja angkutan batu bara kereta api dari Tanjung Enim ke Kertapati dan Tanjung Enim ke Tarahan. " Terjadi peningkatan angkutan KA baik dari Tanjung Enim ke Kertapati, maupun ke Tarahan" kata Suherman kepada Katadata.co.id, Rabu (2/1).
(Baca: Terpukul Permintaan Tiongkok, Harga Batu Bara Diproyeksikan Menurun)
Dia pun mengatakan bahwa perseroan sudah memenuhi kewajiban memasok batu bara dalam negeri (Domestic Market Obligation/DMO), yang mana \ sekitar 50% batu bara yang diproduksinya telah dijual ke PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) (Persero), dan industri lainnya. "Untuk penjualan dalam negeri sudah sekitar 50%," kata dia.
Dengan optimalisasi angkutan batu bara kereta api, pihaknya optimistis produksi batu bara pada 2019 juga akan meningkat sebesar 1,4% menjadi 27,3 juta ton. Angka tersebut sudah terdapat dalam Rancangan Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) perusahaan yang telah diserahkan kepada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.
(Baca: Prospek Bisnis Batu Bara 2019: Kepastian Hukum Jadi Tantangan Utama)
Dari keseluruhan produksi sebesar 27,3 juta ton, sebesar 75% diantaranya menurut rencana akan diekspor ke Tiongkok dan India. Sedangkan, 25% dijual ke pasar domestik untuk memenuhi kebutuhan PLN dan industri dalam negeri. Alokasi ini sesuai dangan kebijakan pemerintah yang mewajibkan perusahaan batu bara memasok batu bara untuk kebutuhan dalam negeri DMO sebesar 25%.
Selain itu, Suherman menjelaskan penyusunan RKAB ini sudah dilakukan sebelum Tiongkok membuat kebijakan untuk membatasi impor batu bara. Dengan demikian, tahun depan PTBA masih bisa mengekspor batu baranya ke negara tersebut. "Mudah-mudahan Januari sudah tidak ada lagi pembatasan impor," kata dia.
Kebijakan Tiongkok yang masih memberlakukan pembatasan impor batu bara diprediksi memukul produsen batu bara. Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) mengtakan akibat kebijaka tersebut, harga batu bara acuan (HBA) diperkirakan terus menurun pada awal 2019.
Pasar Cina menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi HBA. Sebab, sekitar 30 % penjualan batu bara diekspor ke Negeri Panda tersebut. Pembatasan impor ini memukul permintaan batu bara, sedangkan produksi dalam negeri berlimpah. “Sudah pasti akan menurun tiga bulan pertama, sekitar US$ 90 per ton,” kata Ketua Umum APBI Pandu P. Sjahrir kepada Katadata.co.id, Rabu (2/1).
Namun, Pandu belum bisa memastikan HBA sepanjang 2019. Karena, HBA juga dipengaruhi beberapa faktor, di antaranya indeks harga Indonesia Coal Index (ICI), Newcastle Export Index (NEX), Globalcoal Newcastle Index (GCNC).
Untuk memperkuat harga batu bara harus ada perubahan pada referensi penetapan harga. Menurut dia, untuk penetapan HBA seharusnya hanya untuk batu bara dengan kadar rendah, yakni di bawa 5.000 kalori, dan harus mengikuti harga pasar seperti yang dijual ke PT Perusahaan Listrik Negara (PLN).
Adapun saat ini penetapan HBA berlaku untuk batu bara kalori tinggi yaitu 6.322. Sedangkan kalori rendah tidak diatur. Ini membuat keduanya memiliki perbedaan harga yang cukup jauh. “Referensi harus dibetulkan. Kalau sudah HBA, low kalori saja,” ujar Pandu.