Pengaturan Reklamasi Lewat Perpres Rawan Tumpang Tindih
Pemerintah diminta mempertimbangkan rencana melanjutkan pembangunan reklamasi Teluk Jakarta dalam revisi Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, dan Cianjur (Jabodetabekpunjur). Rencana tersebut dinilai berpotensi mengabaikan kepastian hukum dan perlindungan nelayan dalam pemanfaatan ruang laut Teluk Jakarta.
Wakil Ketua Komisi IV Viva Yoga Mauladi menilai dimasukkannya rencana pembangunan reklamasi dalam Perpres Nomor 54 Tahun 2008 berpotensi membuat norma baru yang bertentangan dengan Undang-undang (UU) Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Sebab UU tersebut hanya mengatur mengenai pemanfaatan ruang daratan.
Sementara, reklamasi masuk dalam pengelolaan ruang pesisir dan laut. Sebagaimana diatur dalam UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dan UU Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan.
Menurut Viva, diaturnya pembangunan reklamasi dalam revisi Perpres Nomor 54 Tahun 2008 berpotensi memunculkan masalah baru karena aturan menjadi tumpang tindih. Selain itu, hukum berpotensi tak lagi berdasarkan tafsir yuridis, melainkan politik kekuasaan.
"Kalau sudah tafsir politik, bicaranya nanti atas nama kepentingan siapa," kata Viva di KAHMI Center, Jakarta, Senin (30/4).
(Baca juga: Pengaturan Reklamasi Jakarta Lewat Perpres Dinilai Langgar Hukum)
Selain itu, Viva menilai pemerintah seharusnya tidak mengabaikan ruang laut yang diperuntukkan bagi nelayan. Menurutnya, nelayan merupakan aspek penting dalam rencana zonasi Teluk Jakarta yang masuk ke dalam Kawasan Strategis Nasional (KSN) sebagaimana disusun Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
Viva menilai pemerintah harus bisa menjamin kehidupan sosial ekonomi nelayan secara maju dan modern. Hal tersebut dilakukan dengan menjamin dan menyediakan ruang penghidupan serta akses kepada nelayan kecil tradisional di wilayah perairan
Ketua Harian Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia mengatakan, perlindungan terhadap nelayan kecil tradisional merupakan amanat yang harus dijalankan pemerintah sesuai UU Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Pembudidaya Ikan dan Petambak Garam. Pemerintah juga wajib melindungi nelayan lantaran memiliki kontribusi ekonomi dan budaya.
Martin menjelaskan, 80% pangan perikanan yang dikonsumsi masyarakat Indonesia disediakan oleh nelayan skala kecil. Nelayan juga memiliki identitas budaya karena sejarahnya yang cukup panjang, terutama di pesisir Jakarta.
Adapun, Martin menilai dalam Perpres Nomor 54 Tahun 2008 tidak mengenali nelayan secara spesifik lantaran mengatur tata ruang secara umum. Alhasil, dia menilai jika Perpres tersebut akan sulit untuk bisa melindungi nelayan.
"Pemanfaatan ruang laut harus diatur dalam undang-undang tersendiri, yakni UU Nomor 27 Tahun 2007 juncto UU Nomor 1 Tahun 2014 dan UU Nomor 32 Tahun 2014. Dalam konteks KSN maka pengaturannya melalui Rencana Zonasi KSN," kata Martin.
(Baca juga: Reklamasi Jakarta Akan Diatur Lewat Revisi Perpres Jabodetabekpunjur)
Pakar Hukum Bidang Perencanaan dan Pengelolaan Ruang Laut Universitas Padjadjaran (Unpad) Maret Priyanta mengatakan, negara seharusnya patuh pada perencanaan yang telah disusunnya sendiri. Dalam hal ini,
Maret pun meminta pemerintah memberikan kepastian hukum bagi nelayan dalam memperoleh hak dan kewajibannya.
"Karena nelayan di tiap daerah karakteristiknya berbeda, secara ideal entitas nelayan harus ditetapkan melalui perda sehingga hak dan kewajibannya jelas. Ini sama seperti kita bicara soal masyarakat hukum adat," kata Maret.