Tak Salahkan Data Oxfam, BPS : Ketimpangan Memang Masih Tinggi

Image title
1 Maret 2017, 17:58
Kemiskinan
Arief Kamaludin|KATADATA
Aktivitas warga di pemukiman padat penduduk Kampung Dao, Jakarta.

Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suhariyanto tidak mempersoalkan perbedaan metodologi dan sumber data yang digunakan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Oxfam dan International NGO Forum on Indonesia Development (lNFlD) dalam laporannya. Secara garis besar laporan ini menunjukan persoalan yang sama dengan survei yang dilakukan BPS, yakni tingkat ketimpangan yang relatif tinggi di Indonesia.

“Dengan data Susenas (survei sosial ekonomi nasional), BPS setiap tahun menghitung berdasarkan gini rasio, tahun ini 0,39 pada September 2016. Yang digunakan oleh Oxfam data yang berbeda, tapi kalau dilihat fenomena yang terjadi sama. Ketimpangan masih jadi PR (pekerjaan rumah) besar,” kata Kepala BPS Suhariyanto saat konferensi pers di kantor BPS, Jakarta, Rabu (1/3).

(Baca: Ragukan Data Ketimpangan Oxfam, Darmin: Kok Gawat Benar?)

Suhariyanto mengatakan dalam mengukur ketimpangan, banyak metodologi dan sumber data yang bisa digunakan. BPS sendiri menggunakan gini rasio. Gini rasio ini diukur dari tingkat pengeluaran suatu rumah tangga. Pengukuran ini jelas berbeda dengan yang digunakan oleh Oxfam dan INFID yang menggunakan besaran wealth (kekayaan).

Penggunaan ukuran berdasarkan pengeluaran ada kaitannya dengan budaya rumah tangga Indonesia yang sulit mengungkapkan pendapatannya. Kalaupun mau, itu hanya sebatas estimasi. Rumah tangga Indonesia lebih mudah mengungkapkan pengeluaran.

Suhariyanto mengatakan persoalan utama yang harus diselesaikan adalah bagaimana menurunkan ketimpangan. Menurutnya, beberapa cara yang telah ditempuh pemerintah antara lain, menurunkan ketimpangan kesempatan, memudahkan rakyat  memperoleh akses pendidkan, dan modal.

(Baca: BI: Atasi Ketimpangan Perlu Stabilitas Keamanan, Politik, Ekonomi)

Pemerintah juga telah membuat berbagai strategi untuk memecahkan ketimpangan lewat redistribusi dan legalisasi lahan. “Selain itu ada, penigkatkan akses modal, penguatan kartu pintar dan sehat, pendidikan vokasi, sektor pariwisata, otomotif, dan lainnya,” katanya.

Seperti diketahui, pekan lalu Oxfam merilis laporan yang menyatakan bahwa harta empat orang terkaya di Indonesia mencapai US$ 25 miliar atau setara Rp 333,8 triliun. Sedangkan total kekayaan 100 juta penduduk miskin di Indonesia sebesar US$ 24 miliar atau sekitar Rp 320,3 triliun.

Juru Bicara Oxfam Indonesia Dini Widiastuti menjelaskan, data tersebut diperoleh dari laporan Credit Suisse. "Pada dasarnya perhitungan datanya (dari) global wealth data box yang diproduksi Credit Suisse Research Institute. Bisa kelihatan prosentase share-nya," kata Dini kepada Katadata, Senin (27/2).  

(Baca: Datanya Diragukan Pemerintah, Oxfam Janjikan Klarifikasi)

Menurut Dini, dalam laporan Credit Suisse disebutkan bahwa 40 persen atau 100 juta penduduk miskin Indonesia memiliki kekayaan 1,36 persen dari total kekayaan penduduk nasional. Dari data tersebut disimpulkan bahwa kekayaan 40 persen penduduk termiskin Indonesia sebesar US$ 24 miliar atau setara Rp 320 triliun.

Data tersebut kemudian disandingkan dengan data Forbes tentang daftar orang terkaya di Indonesia dan jumlah kekayaannya. Dari data tersebut diperoleh data bahwa total harta empat orang terkaya Indonesia mencapai US$ 25 miliar atau setara Rp 333 triliun. Ini artinya lebih besar dibanding harta 100 juta penduduk termiskin Indonesia.

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...