Luhut Desak Australia Selesaikan Pencemaran Minyak Montara
Pemerintah Indonesia kembali mendesak Australia agar turut membantu penyelesaian kasus pencemaran minyak di perairan Laut Timor, Nusa Tenggara Timur (NTT). Sebab, sejak awal meledaknya sumur minyak Montara sebagai sumber pencemaran pada 2009 silam sampai saat ini belum ada penyelesaian ganti rugi.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan, Pemerintah Australia harus terlibat dalam penyelesaian kasus ini karena sumur minyak Montara yang dikelola PTT EP Australasia Sea Operations berada di Blok West Atlas, yang masih bagian negara tersebut. “Jadi harus ada andil Australia," katanya di Jakarta, Jumat (2/12).
(Baca: Harga Minyak Indonesia November 2016 Turun 7,3 Persen)
Luhut belum tahu pasti nilai kerugian yang diderita Indonesia, khususnya oleh rakyat di sekitar Laut Timor tersebut. Namun perkiraannya jumlah kerugiannya sangat besar. Untuk itu, pemerintah akan terus berkomunikasi secara intensif serta lebih aktif agar mendapatkan ganti rugi.
Era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebenarnya sudah mengajukan nilai ganti rugi sebesar US$ 5 juta. Dana ini diwujudkan dalam bentuk program corporate social responsibility (CSR) kepada warga di pesisir Laut Timor yang mata pecahariannya terganggu akibat tumpahan minyak.
Namun, PTT EP sempat meminta diskon menjadi US$ 3 juta. Alhasil, sampai saat ini penyelesaiannya belum menemukan kejelasan. Terkait hal itu, Luhut meminta, agar hal tersebut ditanyakan kepada pihak berwenang di pemerintahan sebelumnya.
Berdasarkan hasil analisis dan evaluasi laboratorium Lemigas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) terhadap sampel tarball dan sampel minyak Montara, disimpulkan adanya kesesuaian karakteristik minyak yang ditemukan di perairan Laut Timor dengan minyak yang berasal dari platform Montara di Australia.
(Baca: Pertamina Ajukan Proposal Alih Kelola Blok East Kalimantan)
Dikutip dari situs Kementerian ESDM, kebocoran minyak dari The Montara Well Head Platform di Blok West Atlas Laut Timor perairan Australia terjadi pada 21 Agustus 2009. Kebocoran pada mulut sumur mengakibatkan tumpahnya minyak dan gas hidrokarbon ke laut.
Pada 7 Oktober 2009, Otoritas Keselamatan Maritim Australia (AMSA) memberikan informasi kepada Kementerian Perhubungan Indonesia bahwa pencemaran minyak mentah sudah mencapai sekitar 51 mil laut dari Pulau Rote, NTT. Namun, pada 3 November 2009, kebocoran berhasil ditutup.
Data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tahun 2009 juga melansir, 29 hari setelah ledakan tersebut tumpahan minyak menyebar ke arah barat, berada sekitar 110 kilometer (km) pesisir Namodale, Rote Ndao dan 121 km Oetune, Kupang. Citra satelit Terra-MODIS pada 28 September 2009 mendeteksi tumpahan minyak kembali mendekati perairan Indonesia dengan jarak terdekat sekitar 47 km dari pesisir Rabe, Kupang dan 65 km dari Batuidu, Rute Ndao.
Selanjutnya, pada 5 Maret 2010, Kementerian Perhubungan yang merupakan Ketua Timnas Penanggulangan Keadaan Darurat Tumpahan Minyak di Laut, melaporkan kepada Presiden kronologis kejadian dan langkah-langkah aksi yang sedang dan akan dilakukan. (Baca: Bahas 4 Poin, Jonan Kumpulkan 20 Bos Perusahaan Migas di Bali)
Pada 27 Juli 2010, Tim Advokasi Indonesia melakukan pertemuan dengan PTTEP Australias Sea Operations selaku operator blok tersebut di Perth, Australia. Pertemuan itu terkait upaya pengajuan klaim ganti rugi. Namun, hingga kini, Pemerintah Indonesia belum juga menerima ganti rugi.