Soal Blok Masela, Menteri Keuangan: Kalau Mau Onshore Bagus
KATADATA - Rencana pengembangan Blok Masela hingga kini masih terkatung-katung. Alih-alih membuat keputusan final, pemerintah malah belum satu suara dalam memandang pengembangan blok minyak dan gas bumi di Laut Arafura, Maluku, tersebut. Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro ikut bersuara mengenai skema pengembangan Blok Masela, antara menggunakan kilang di darat (onshore) atau membangun kilang terapung di laut (FLNG).
Bambang termasuk salah seorang peserta rapat kabinet terbatas di kantor Kepresidenan, Jakarta, pada 29 Desember tahun lalu. Rapat yang dipimpin langsung oleh Presiden Joko Widodo itu membahas penentuan skema pengembangan Blok Masela. Selain Menteri Keuangan, rapat itu diikuti oleh Menko Bidang Perekonomian Darmin Nasution, Menko Bidang Maritim dan Sumber Daya Rizal Ramli, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said, Menteri PPN/Kepala Bappenas Sofyan Djalil, Menteri Perindustrian Saleh Husin, dan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti. Ada pula Menteri Sekretaris Negara Pratikno, Sekretaris Kabinet Pramono Anung, Kepala Staf Presiden Teten Masduki, serta Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Dwi Soetjipto.
Pramono pernah mengungkapkan, selama rapat terbatas tersebut ada dua pandangan yang berkembang untuk penentuan Blok Masela, yaitu skema offshore dan onshore. Dua skema itu memiliki nilai positif dan negatif serta kelebihan dan kekurangan masing-masing.
Meski begitu, Bambang menegaskan tidak ada voting atau pemungutan suara di antara para menteri untuk memutuskan skema pengembangan Blok Masela. Lantas, bagaimana pandangannya terhadap dua perbedaan tersebut? “Saya hanya memberi pendapat, kalau mau onshore bagus," katanya di kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, Senin malam (25/1).
Namun, dia memberikan catatan agar pengembangan Blok Masela jangan sampai mengulangi kesalahan proyek gas alam cair (LNG) di Arun, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Sekadar menyegarkan ingatan, kilang LNG Arun yang dioperasikan PT Arun Natural Gas Liquefaction (NGL) mulai berproduksi sejak 1978. Setelah beroperasi selama 36 tahun, kilang ini berhenti beroperasi Oktober 2014. Sebab, gas yang berasal dari Lapangan North Sumatera Offshore (NSO) sudah tidak bisa lagi dijadikan LNG. Alhasil, kilang Arun saat ini hanya berfungsi sebagai regasifikasi gas dan pengembangan wilayahnya terhenti.
(Baca : Seteru di Balik Kisruh Pengembangan Blok Masela)
Sikap Menteri Keuangan tersebut mendapat sorotan negatif dari ekonom Universitas Indonesia (UI) Faisal Basri. Wakil Ketua Tim Pengawas (counterpart) Blok Masela ini menilai, dukungan Bambang terhadap skema onshore Blok Masela itu tidak sesuai dengan jabatannya sebagai Menteri Keuangan yang harus mengelola keuangan negara.
Padahal, menurut Faisal, skema onshore ini sangat tidak efisien dan sarat dengan kepentingan pihak-pihak yang mendukungnya. Skema itu hanya menguntungkan perusahaan pipa karena kontraktor harus membangun pipa sepanjang 600 kilometer untuk menyalurkan gas ke kilang pengolahan di darat. Proyek ini pun akan menjadi proyek pipa terbesar sepanjang sejarah Indonesia.
(Baca : Kisruh Blok Masela, Faisal Basri: Perusahaan Pipa Punya Siapa?)
Kelemahan lain skema onshore adalah ketersediaan lahan. Kontraktor membutuhkan lahan sekitar 600 hektare. Sementara dengan skema kilang terapung (FLNG), kontraktor hanya membutuhkan lahan seluas 40 hektare. Perbedaan ini akan mempengaruhi lamanya proses pembebasan lahan dan biaya proyek Blok Masela. “Jadi ini kepentingan semua. Ayo deh buka semua, intinya tuh siapa dapat berapa,” ujar Faisal, Jumat pekan lalu (22/1).
Tudingan tersebut dibantah oleh Meteri Koordinator Bidang Maritim dan Sumber Daya Mineral Rizal Ramli. Menurut dia, biaya yang dibutuhkan untuk skema darat lebih murah dibandingkan FLNG. Untuk membangun kilang darat di Pulau Selaru, kebutuhan pipanya sepanjang 90 kilometer. Dengan begitu, nilai investasinya sekitar US$ 16 miliar.
Sementara untuk skema FLNG, membutuhkan dana sebesar US$ 22 miliar. Nilai itu berdasarkan asumsi biaya riil proyek sejenis Blok Masela, yakni pembangunan kilang FLNG Prelude di Australia. Proyek FLNG Prelude berkapasitas 3,6 juta ton per tahun (mtpa) membutuhkan pendanaan sekitar US$ 3,5 miliar per mtpa. Sementara kapasitas FLNG Masela sebesar 7,5 mtpa. Jadi, skema offshore pada Blok Masela membutuhkan dana lebih besar sehingga merugikan negara. “Semua biaya tersebut akan dibayar negara melalui mekanisme cost recovery,” ujar Rizal melalui keterangan resminya, Senin (25/1).
(Baca : Jelang Putusan Blok Masela, Menteri Rizal dan Sudirman Masih Ribut)
Selain itu, skema FLNG dianggap lebih berisiko dari sisi keselamatan, stabilitas, dan keandalan operasi. Rizal mengklaim, sebelum dialirkan ke kapal-kapal tanker pengangkut, gas tersebut dikompres dengan suhu rendah hingga minus 160 derajat celsius. Jika ada gempa bumi atau ombak besar saat proses pemindahan ke tanker berlangsung, maka sulit menghindari terjadinya gesekan. Hal ini berpotensi menimbulkan kebakaran dahsyat.
Kilang FLNG hanya cocok untuk ladang-ladang gas dengan cadangan kecil dan jauh dari darat alias marjinal. Apalagi, Rizal mengaku sampai saat ini belum ada perusahaan asuransi yang berani menanggung risiko proyek FLNG.
Di kubu lain, Menteri ESDM Sudirman Said mengatakan skema yang layak untuk pengembangan Blok Masela adalah FLNG. Hal ini didasari dari kajian yang dilakukan oleh konsultan independen Poten and Partner dan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas).